Masihkah kesehatan
menjadi hak setiap manusia? Kita sudah tahu, ini jaman kapitalisme, dimana
segala sesuatu yang mendatangkan nilai guna akan diubah menjadi komoditi.
Sekarang ini, kesehatan bukan lagi hak yang melekat pada manusia, melainkan
sudah menjadi komoditi.
Kita sudah sering
mendengar istilah “industri kesehatan”. Barang-barang yang menyangkut hidup
manusia, termasuk obat-obat, diproduksi oleh swasta dan dilemparkan ke pasar
untuk mencapai keuntungan (profit). Obat tidak lagi diproduksi untuk
kepentingan kesehatan rakyat, melainkan untuk tujuan profit.
Kesehatan adalah sesuatu
yang intrisik di dalam kehidupan manusia. Ia tidak berbeda dengan kebutuhan
akan udara, air, dan bahan makanan. Akan tetapi, di bawah kapitalisme,
kesehatan seolah-olah menjadi kebutuhan yang eksternal; kesehatan tidak ada
bedanya dengan komoditi lain seperti mobil, motor, televisi, dan lain-lain.
Para pekerja kesehatan
bukan lagi bala tentara kemanusiaan. Pengabdian mereka bukan lagi, seperti ditekankan
oleh Tjipto Mangungkusumo, “untuk kemanusiaan”. Mereka mengabdi untuk logika
keuntungan. Akhirnya, dalam banyak kejadian akhir-akhir ini, banyak pasien
miskin menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit tanpa tersentuh
tangan-tangan dokter atau paramedis.
Karena dituntun oleh
logika profit, banyak tenaga dokter baru menolak ditempatkan di daerah-daerah
terpencil. Tidak ada lagi dokter seperti Tjipto Mangungkusumo yang rela bekerja
tanpa pamrih berkeliling Pulau Jawa untuk memberantas penyakit pes yang mewabah
di tengah-tengah rakyat.
Misi utama sebagian
besar rumah sakit di Indonesia, termasuk RS yang menyandang nama Tjipto
Mangkusumo dan Wahidin Sudirohusodo, adalah memaksimalkan keuntungan alias
profit. Efiensi pun menjadi “mantra baru” dalam pengelolaan hampir semua rumah
sakit. Motto pelayanannya pun menjadi: “Ada uang, ada pelayanan!”
Di level negara, layanan
kesehatan juga dipandang privat. Artinya, negara tidak lagi bertanggung-jawab
atas urusan kesehatan rakyat. Urusan diserahkan kepada masing-masing individu.
Seberapa sehat masing-masing individu itu, nanti tergantung dari kemampuan
mereka membiayai kesehatan masing-masing. Mungkin, inilah yang dimaksud
“kebebasan dan kesetaraan” dalam kapitalisme liberal.
Logika kapitalisme tidak
pernah cocok dengan filosofi kesehatan sebagai hak dasar setiap manusia.
Kapitalisme hanya menjadikan kesehatan sebagai sarana untuk memaksimalkan
keuntungan. Sedangkan kesehatan sebagai hak dasar setiap manusia mengisyaratkan
adanya kesetaraan dan memproritaskan rakyat (kemanusiaan).
Sebetulnya, jika para
penyelenggara negara kita konsisten berpegang kepada UUD 1945, maka layanan
kesehatan sebetulnya tidak bisa diprivatisasi dan diserahkan kepada mekanisme
pasar. Sebab, layanan kesehatan menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika
mengacu pada UUD 1945, layanan kesehatan mestinya diselenggarakan oleh negara
dan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.
Menutup editorial ini,
kutipan pidato pemimpin revolusi Kuba, Fidel Castro, saat berpidato di Sidang
Umum PBB tahun 1979, mungkin sangat berguna untuk kita renungkan:
“Anda di sini sering
berbicara hak azasi manusia, tetapi juga penting untuk membicarakan hak-hak
kemanusiaan. Mengapa banyak orang berjalan tanpa alas kaki sedangkan orang lain
dapat melakukan perjalanan dengan mobil mewah? Mengapa banyak orang yang hidup
hanya 35 tahun sedangkan ada orang lain yang bisa hidup hingga 70-an tahun? Aku
berbicara atas nama anak-anak dunia yang tidak punya sepotong roti. Saya
berbicara atas nama orang-orang sakit yang tidak punya obat. Saya berbicara
atas nama orang-orang yang dilarang punya hak hidup dan menjadi manusia
bermartabat….apa gunanya peradaban? Apa gunanya nurani manusia? Apa gunanya
PBB? Apa gunanya dunia? Anda tidak mungkin berbicara tentang perdamaian dunia
di atas bangkai puluhan juta manusia yang meninggal karena kelaparan dan
penyakit yang mestinya dapat disembuhkan”—Fidel Castro, 1979.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar