Hidup
adalah soal keberanian,
menghadapi
yang tanda tanya
tanpa kita
bisa mengerti, tanpa bisa kita menawar
terimalah,
dan hadapilah.”
(Mandalawangi-Pangrango,
Soe Hok-Gie)
BENAR apa
yang dikatakan Soe Hok-Gie. Masa depan yang akan kita hadapi
sebagai bangsa akan sangat panjang. Kita memerlukan berton-ton keberanian,
termasuk keberanian untuk mengikis beban masa lalu. Luka lama sejarah mesti
kita terima dan hadapi, sembari bersama-sama mencari formula yang tepat demi
membangun bangsa kelak di kemudian hari—inilah ikhtiar kita sebagai kaum muda
bangsa.
Bagi generasi yang
lahir di tahun 1990-an tidak mengetahui secara pasti kronologi Tragedi 1965. Di
penghujung akhir masa kepemimpinan Orde Baru itu, pengetahuan di sekitar apa
yang kebanyakan buku teks pelajaran sekolah sebut sebagai “Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI)” amat sangat minim. Setelah
menempuh pendidikan yang lebih tinggi selanjutnya, kita sontak terperanjat,
karena pelajaran yang kita dapatkan tentang tragedi di tahun 1965 itu
diteriakkan banyak orang sebagai sebuah manipulasi sejarah. Kita, Generasi
1990-an, yang pada mulanya “damai-damai” saja dengan ilmu sejarah yang kita
peroleh, mendadak menjadi terusik dan tertantang untuk mengkaji kembali
segalanya dari awal. Sebagai generasi yang lugu kita bingung: persoalan di
sekitar tahun 1965 itu nampak masih simpang-siur. Bahkan, terjadi perbedaan
pendapat di kalangan sejarawan.
Namun,
secara umum, pascakeruntuhan Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto
dari kursi kepresidenan, muncul paradigma baru soal Gerakan 30 September. Rezim
Orde Baru dengan berbagai macam cara telah berhasil meneror rakyat melalui
tafsiran tunggal atas peristiwa tersebut. PKI dan segala jenis pahamnya seperti
komunisme, marxisme, dan leninisme, juga organisasi-organisasi yang bernaung di
bawahnya, dicap sebagai dalang satu-satunya yang melatarbelakangi tragedi
tersebut.
Dampak
lanjutan dari tafsiran tunggal ini amatlah luar-biasa. Pertama, terjadi
pembantaian massal menyusul terbunuhnya para jenderal pada 30 September 1965.
Semenjak pengambilalihan pemerintahan dari Presiden Soekarno dalam rangka
mengembalikan stabilitas keamanan negara, Indonesia seakan-akan berada dalam
genggaman tangan Soeharto—yang saat itu menjabat sebagai Kepala Komando
Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad). Presiden Soekarno tidak bisa berbuat
banyak lantaran (sebagian) rakyat menuduhnya turut terlibat dalam insiden yang
menewaskan sepuluh orang jenderal itu.
Soeharto
memainkan peran dengan sangat bagus, apalagi setelah dikeluarkannya Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Lewat surat perintah yang hingga kini
masih belum diketahui keberadaan versi aslinya tersebut, Soeharto melakukan beragam
cara untuk menciptakan stabilitas umum, antara lain dengan membubarkan PKI dan
menyatakannya sebagai partai terlarang, mencopot jabatan orang-orang di
pemerintahan yang diduga memiliki hubungan dekat dengan PKI, dan menyatakan
paham komunisme/marxisme-leninisme sebagai paham terlarang di Indonesia.
Aksi massa
luar-biasa muncul setelah dikeluarkannya keputusan itu. Di berbagai daerah di
Nusantara, terutama di Jawa dan Bali, terjadi pembantaian besar-besaran
terhadap kader-kader, simpatisan-simpatisan Partai Komunis Indonesia, serta
orang-orang yang diduga terkait dengan PKI dan anak-organisasinya seperti
Gerwani dan Lekra. Tak terhitung berjuta-juta nyawa anak bangsa yang menjadi
tumbal kebiadaban tafsir-tunggal tersebut.
Kedua,
setelah diangkat menjadi presiden oleh MPR/DPR—yang notabene berisi orang-orang
yang dekat dengannya—Soeharto semakin leluasa mempergunakan slogan anti-PKI,
antikomunis, dan antikomunisme sebagai tameng politiknya. Istilah PKI adalah
bahaya laten yang merembes diam-diam yang harus selalu diwaspadai. Pada
berbagai kesempatan, bahaya itu disampaikan dengan istilah dan ciri yang
berbeda-beda. Cap “komunis” diberikan kepada kaum oposan atau orang yang tidak
disukai penguasa dengan target utama mengingatkan kegelapan masa lampau, dan
adalah hak bagi negara mengambil tindakan tegas sebelum terjadi peristiwa yang
tidak diinginkan.
Di sini
memori publik dipupuk dan diawetkan.[2]
Hal ini
benar-benar meneror kebebasan rakyat dan jelas bertentangan dengan pasal 28 UUD
1945. Rakyat terlambat menyadari, Gerakan 30 September telah “menciptakan”
rezim otoritarian selama 32 tahun di depan.
***
Komunisme
telah menjadi isu sensitif setelah Soeharto berkuasa. Pembantaian terhadap para
komunis dilakukan sampai anak-cucunya, yang belum tentu mengetahui “hewan”
seperti apa komunisme itu. Stigmatisasi Orde Baru membawa rasa trauma
berkepanjangan yang melanda para korban Tragedi 1965.
Sudah dua
belas tahun sejak Orde Baru runtuh digantikan Era Reformasi yang membawa
keterbukaan dan demokratisasi. Semestinya, tafsir-tunggal atas Tragedi 1965
segera diakhiri kemudian dicari kenyataan sejarah yang sebenar-benarnya.
Namun,
rupanya dukungan pemerintah ke arah itu belum terlihat secara nyata. Dalam
bidang keilmuan (sejarah), contohnya. Penyebutan G30S selalu saja
dihubung-hubungkan dengan PKI. Padahal kita tahu, ada beragam versi mengenai
dalang peristiwa G30S. Lebih memprihatinkan lagi bila kita menyaksikan, betapa
tafsir-tunggal warisan Orde Baru itu belum betul-betul coba dikaji ulang. Yang
terjadi justru sebaliknya, pemerintah hendak melestarikan tafsir-tunggal.
Bayangkan, pada 2007, Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia membakar puluhan ribu
buku pelajaran Sejarah untuk SMP dan SMA karena menghilangkan kata “PKI” dari
“G30S”.[3]
Pemerintah
mestinya mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh ormas di bawah naungan
Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Ansor. Ansor, sebagai pihak yang berperan cukup
signifikan dalam pembantaian para anggota PKI, meminta maaf secara terbuka
kepada para korban langsung maupun tak langsung tragedi berdarah tersebut.
Simpati Ansor tersebut diharapkan akan membantu proses rekonsiliasi.
Komunisme
sebagai ideologi terlarang seyogianya dikaji ulang keabsahannya. Pelarangan
terhadap komunisme sama saja pelarangan terhadap kebebasan berpikir sebagaimana
diatur dalam pasal 28I UUD 1945. Sampai kapan Indonesia akan mampu bersikap
dewasa? Bukankah agama lebih dari cukup untuk menjadi pelita bagi bangsa kita
yang terkenal religius?
Maka sangat
relevan kiranya wacana pencabutan Tap MPRS/XXV/1966 tentang Larangan Penyebaran
Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang pernah dilontarkan Presiden
Abdurrahman Wahid digaungkan kembali. Menurut Gus Dur, larangan terhadap paham
komunisme merupakan sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara
hukum. Pikiran boleh saja disebarkan, tinggal masyarakat sendiri yang melakukan
upaya untuk melawan pikiran itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar