Jumat, 15 Juni 2012

REFLEKSI SEJARAH TRAGEDI 1965 UNTUK GENERASI 1990-an


Hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita bisa mengerti, tanpa bisa kita menawar
terimalah, dan hadapilah.”
(Mandalawangi-Pangrango, Soe Hok-Gie)

BENAR apa yang dikatakan Soe Hok-Gie. Masa depan yang akan kita hadapi sebagai bangsa akan sangat panjang. Kita memerlukan berton-ton keberanian, termasuk keberanian untuk mengikis beban masa lalu. Luka lama sejarah mesti kita terima dan hadapi, sembari bersama-sama mencari formula yang tepat demi membangun bangsa kelak di kemudian hari—inilah ikhtiar kita sebagai kaum muda bangsa.

Bagi generasi yang lahir di tahun 1990-an tidak mengetahui secara pasti kronologi Tragedi 1965. Di penghujung akhir masa kepemimpinan Orde Baru itu, pengetahuan di sekitar apa yang kebanyakan buku teks pelajaran sekolah sebut sebagai “Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI)” amat sangat minim. Setelah menempuh pendidikan yang lebih tinggi selanjutnya, kita sontak terperanjat, karena pelajaran yang kita dapatkan tentang tragedi di tahun 1965 itu diteriakkan banyak orang sebagai sebuah manipulasi sejarah. Kita, Generasi 1990-an, yang pada mulanya “damai-damai” saja dengan ilmu sejarah yang kita peroleh, mendadak menjadi terusik dan tertantang untuk mengkaji kembali segalanya dari awal. Sebagai generasi yang lugu kita bingung: persoalan di sekitar tahun 1965 itu nampak masih simpang-siur. Bahkan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarawan.

Namun, secara umum, pascakeruntuhan Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, muncul paradigma baru soal Gerakan 30 September. Rezim Orde Baru dengan berbagai macam cara telah berhasil meneror rakyat melalui tafsiran tunggal atas peristiwa tersebut. PKI dan segala jenis pahamnya seperti komunisme, marxisme, dan leninisme, juga organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya, dicap sebagai dalang satu-satunya yang melatarbelakangi tragedi tersebut.

Dampak lanjutan dari tafsiran tunggal ini amatlah luar-biasa. Pertama, terjadi pembantaian massal menyusul terbunuhnya para jenderal pada 30 September 1965. Semenjak pengambilalihan pemerintahan dari Presiden Soekarno dalam rangka mengembalikan stabilitas keamanan negara, Indonesia seakan-akan berada dalam genggaman tangan Soeharto—yang saat itu menjabat sebagai Kepala Komando Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad). Presiden Soekarno tidak bisa berbuat banyak lantaran (sebagian) rakyat menuduhnya turut terlibat dalam insiden yang menewaskan sepuluh orang jenderal itu.

Soeharto memainkan peran dengan sangat bagus, apalagi setelah dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Lewat surat perintah yang hingga kini masih belum diketahui keberadaan versi aslinya tersebut, Soeharto melakukan beragam cara untuk menciptakan stabilitas umum, antara lain dengan membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang, mencopot jabatan orang-orang di pemerintahan yang diduga memiliki hubungan dekat dengan PKI, dan menyatakan paham komunisme/marxisme-leninisme sebagai paham terlarang di Indonesia.

Aksi massa luar-biasa muncul setelah dikeluarkannya keputusan itu. Di berbagai daerah di Nusantara, terutama di Jawa dan Bali, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap kader-kader, simpatisan-simpatisan Partai Komunis Indonesia, serta orang-orang yang diduga terkait dengan PKI dan anak-organisasinya seperti Gerwani dan Lekra. Tak terhitung berjuta-juta nyawa anak bangsa yang menjadi tumbal kebiadaban tafsir-tunggal tersebut.

Kedua, setelah diangkat menjadi presiden oleh MPR/DPR—yang notabene berisi orang-orang yang dekat dengannya—Soeharto semakin leluasa mempergunakan slogan anti-PKI, antikomunis, dan antikomunisme sebagai tameng politiknya. Istilah PKI adalah bahaya laten yang merembes diam-diam yang harus selalu diwaspadai. Pada berbagai kesempatan, bahaya itu disampaikan dengan istilah dan ciri yang berbeda-beda. Cap “komunis” diberikan kepada kaum oposan atau orang yang tidak disukai penguasa dengan target utama mengingatkan kegelapan masa lampau, dan adalah hak bagi negara mengambil tindakan tegas sebelum terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.

Di sini memori publik dipupuk dan diawetkan.[2]

Hal ini benar-benar meneror kebebasan rakyat dan jelas bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. Rakyat terlambat menyadari, Gerakan 30 September telah “menciptakan” rezim otoritarian selama 32 tahun di depan.

***

Komunisme telah menjadi isu sensitif setelah Soeharto berkuasa. Pembantaian terhadap para komunis dilakukan sampai anak-cucunya, yang belum tentu mengetahui “hewan” seperti apa komunisme itu. Stigmatisasi Orde Baru membawa rasa trauma berkepanjangan yang melanda para korban Tragedi 1965.

Sudah dua belas tahun sejak Orde Baru runtuh digantikan Era Reformasi yang membawa keterbukaan dan demokratisasi. Semestinya, tafsir-tunggal atas Tragedi 1965 segera diakhiri kemudian dicari kenyataan sejarah yang sebenar-benarnya.

Namun, rupanya dukungan pemerintah ke arah itu belum terlihat secara nyata. Dalam bidang keilmuan (sejarah), contohnya. Penyebutan G30S selalu saja dihubung-hubungkan dengan PKI. Padahal kita tahu, ada beragam versi mengenai dalang peristiwa G30S. Lebih memprihatinkan lagi bila kita menyaksikan, betapa tafsir-tunggal warisan Orde Baru itu belum betul-betul coba dikaji ulang. Yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah hendak melestarikan tafsir-tunggal. Bayangkan, pada 2007, Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia membakar puluhan ribu buku pelajaran Sejarah untuk SMP dan SMA karena menghilangkan kata “PKI” dari “G30S”.[3]

Pemerintah mestinya mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh ormas di bawah naungan Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Ansor. Ansor, sebagai pihak yang berperan cukup signifikan dalam pembantaian para anggota PKI, meminta maaf secara terbuka kepada para korban langsung maupun tak langsung tragedi berdarah tersebut. Simpati Ansor tersebut diharapkan akan membantu proses rekonsiliasi.

Komunisme sebagai ideologi terlarang seyogianya dikaji ulang keabsahannya. Pelarangan terhadap komunisme sama saja pelarangan terhadap kebebasan berpikir sebagaimana diatur dalam pasal 28I UUD 1945. Sampai kapan Indonesia akan mampu bersikap dewasa? Bukankah agama lebih dari cukup untuk menjadi pelita bagi bangsa kita yang terkenal religius?

Maka sangat relevan kiranya wacana pencabutan Tap MPRS/XXV/1966 tentang Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang pernah dilontarkan Presiden Abdurrahman Wahid digaungkan kembali. Menurut Gus Dur, larangan terhadap paham komunisme merupakan sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara hukum. Pikiran boleh saja disebarkan, tinggal masyarakat sendiri yang melakukan upaya untuk melawan pikiran itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar