Kamis, 21 Juni 2012

TAP MPRS No.XXV/MPRS/1966


K E T E T A P A N 
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA 
REPUBLIK INDONESIA 
No. XXV/MPRS/1966 
TENTANG 
PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN 
SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAYAH 
NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS 
INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK 
MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN 
KOMUNISME/MARXISME-LENINISME 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA 
REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a.  Bahwa  faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya   bertentangan dengan Pancasila; 

b.  Bahwa  orang-orang  dan  golongan-golongan  di  Indonesia yang  menganut  faham  atau  ajaran  Komunisme/Marxisme-Lenninisme,  khususnya  Partai  Komunis  Indonesia,  dalam sejarah  Kemerdekaan  Republik  Indonesia  telah  nyata-nyata  terbukti  beberapa  kali  berusaha  merobohkan  kekuasaan  Pemerintah  Republik  Indonesia  yang  sah  dengan  jalan  kekerasan. 

c.  Bahwa  berhubung  dengan  itu,  perlu  mengambil  tindakan tegas  terhadap  Partai  Komunis  Indonesia  dan  terhadap kegiatan-kegiatan  yang  menyebarkan  atau  mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme;


Mengingat:  Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3);

Mendengar :  Permusyawaratan  dalam  rapat-rapat  MPRS  dari  tanggal  20  Juni 1966 sampai dengan 5 Juli 1966.


M E M U T U S K A N :


Menetapkan:  KETETAPAN  TENTANG  PEMBUBARAN  PARTAI KOMUNIS  INDONESIA,  PERNYATAAN  SEBAGAI  OR-GANISASI TERLARANG DISELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK  INDONESIA  DAN  LARANGAN  SETIAP  KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANG-KAN  FAHAM  ATAU  AJARAN  KOMUNISME/MARXISME LENINISME



Pasal 1
 Menerima  baik  dan  menguatkan  kebijaksanaan  Presiden/Panglima  Tertinggi Angkatan  Bersenjata  Republik  Indonesia/Pemimpin  Besar  Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat  Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia,  termasuk  semua  bagian  organisasinya  dari  tingkat  pusat  sampai kedaerah  beserta  semua  organisasi  yang  seazas/berlindung/bernaung  dibawahnya dan  pernyataan  sebagai  organisasi  terlarang  diseluruh  wilayah  kekuasaan  Negara Republik  Indonesia  bagi  Partai  Komunis  Indonesia,  yang  dituangkan  dalam Keputusannya  tanggal  12  Maret  1966  No.  1/3/1966,  dan  meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS.


Pasal 2
  Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau  ajaran  Komunisme/Marxisme-Leninisme  dalam  segala  bentuk  dan manifestasinya,  dan  penggunaan  segala  macam  aparatur  serta  media  bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.


Pasal 3
  Khususnya  mengenai  kegiatan  mempelajari  secara  ilmiah,  seperti  pada Universitas-universitas,  faham  Komunisme/Marxisme-Leninisme  dalam  rangka mengamankan  Pancasila,  dapat  dilakukan  secara  terpimpin,  dengan  ketentuan, bahwa  Pemerintah  dan  DPR-GR  diharuskan  mengadakan  perundang-undangan untuk pengamanan.


Pasal 4
  Ketentuan-ketentuan  diatas,  tidak  mempengaruhi  landasan  dan  sifat  bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia.





            Ditetapkan di : Jakarta
              Pada tanggal  : 5 Juli 1966.

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA

K e t u a,
ttd.
(Dr. A.H. Nasution)
Jenderal TNI

TAP MPRS No.XXV/MPRS/1966  

    Wakil Ketua,          Wakil Ketua
 ttd.                           ttd.
      (Osa Maliki)        (H.M. Subchan Z.E.)

    Wakil Ketua,          Wakil Ketua,
        ttd.                        ttd.
      (M. Siregar).           (Mashudi)
               Brig.Jen. TNI


Sesuai dengan aslinya
Administrator Sidang Umum IV MPRS
ttd.
(Wilujo Puspo Judo)
Maj. Jen. T.N.I


PENJELASAN
K E T E T A P A N
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
No.: XXV/MPRS/1966.

1.  Faham  atau  ajaran  Komunisme  dalam  praktek  kehidupan  politik  dan kenegaraan  menjelmakan  diri  dalam  kegiatan-kegiatan  yang  bertentangan dengan  azas-azas  dan  sendi-sendi  kehidupan  Bangsa  Indonesia  yang  ber-Tuhan  dan  beragama  yang  berlandaskan  faham  gotong  royong  dan musyawarah untuk mufakat.

2.  Faham atau ajaran Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.

3.  Faham  Komunis/Marxisme-Leninisme  yang  dianut  oleh  PKI  dalam kehidupan  politik  di  Indonesia  telah  terbukti  menciptakan  iklim  dan  situasi yang membahayakan kelangsungan hidup Bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila.

4.  Berdasarkan  pertimbangan  tersebut  diatas  maka  adalah  wajar,  bahwa  tidak diberikan  hak  hidup  bagi  Partai  Komunis  Indonesia  dan  bagi  kegiatan-kegiatan  untuk  memperkembangkan  dan  menyebarkan  faham  atau  ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

CATATAN TENTANG USAHA PENCABUTAN TAP MPRS NOMOR XXV/1966


Moch Machfud, seorang pakar hukum dan politik dari Yogyakarta, dalam disertasinya -- yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Politik Hukum di Indonesia -- menyatakan bahwa hukum merupakan produk politik. Dengan kata lain, konfigurasi politik , amat berperan dalam membentuk produk hukum yang akan dihasilkan, khususnya hukum publik yang mengatur hubungan kekuasaan.

Dengan asumsi itu Machfud menyimpulkan bahwa pemerintahan yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang konservatif/ortodoks dan tidak akomodatif. Sebaliknya, pemerintahan yang demokratis akan menghasilkan berbagai produk hukum yang akomodatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Penulis setuju dengan pendapat Machfud tersebut, di samping nuansa politis yang juga memberi warna pada keberadaan suatu peraturan perundang-undangan. Penulis menduga, hal itu pula yang ingin ditunjukkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ketika orang nomor satu di Indonesia itu mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. Gus Dur tampaknya ingin menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan dalam pemerintahan dari yang sebelumnya cenderung otoriter menjadi demokratis dengan hanya memberlakukan perundang-undangan yang responsif.

Bila sebatas hanya usul, lontaran Presiden tersebut sah-sah saja. Meskipun sebaiknya, sebagai presiden yang berasal dari partai yang memiliki fraksi di DPR, hal itu disampaikan melalui fraksinya saja, dalam hal ini Fraksi Kebangkitan Bangsa. Namun jika melihat bahwa pada hakikatnya seorang presiden adalah bagian dari rakyat juga, maka usulan Gus Dur yang disampaikan secara langsung tersebut juga dapat dipahami, mengingat rakyat juga berhak mengajukan usul kepada MPR, yang notabene merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

Karenanya, tidak perlu ada 'ancaman politik' dari berbagai pihak terhadap Gus Dur atas usulannya tersebut. Hal itu baru akan menjadi masalah, jika ternyata Gus Dur bersikeras mendesak MPR agar mencabut Tap MPRS tersebut dalam Sidang Umum MPR tahunan pada bulan Agustus mendatang. Berkaitan dengan itulah, pada awalnya penulis berpendapat jika hanya sebatas mengulang kembali usulannya dan menyampaikan argumentasi seputar pencabutan Tap MPRS No XXV/MPRS/1966, rencana pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid pada hari Kebangkitan Nasional lalu, wajar adanya.

Penulis berpendapat, Tap yang lahir 5 Juli 1966 tersebut bukan saja karena didasari atas terjadinya peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) (yang dikenal dengan peristiwa G-30-S/PKI pada 30 September 1965), melainkan juga karena ajaran tersebut tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD '45.

Ajaran Komunisme dan sebagainya tersebut tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tentu saja hal itu bertentangan dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Di samping itu, lahirnya Tap ini adalah untuk mengembalikan penyimpangan ide Nasakom (NASionalis-Agama dan KOMunis), yang pada masa Demokrasi Terpimpin sempat dilontarkan oleh Presiden Soekarno.

Sebagaimana dikatakan Gus Dur, di dalam UUD '45, secara eksplisit memang tidak terdapat larangan terhadap ajaran komunis. Namun pernyataan Gus Dur tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena secara implisit kita dapat menemukannya dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu juga ada pernyataan dalam Pembukaan UUD '45 yang memuat sila pertama Pancasila.

Menurut Gus Dur, tujuan usulannya adalah untuk memberi 'keadilan' bagi eks-PKI dan keluarganya. Padahal hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan cara rehabilitasi, sebagai salah satu hak yang dimiliki presiden.

Rehabilitasi terhadap nama abik eks PKI dan keluarganya dapat dilakukan, karena mereka adalah orang-orang yang melakukan suatu perbuatan yang pada masa tertentu tidak dilarang (legal) di Indonesia. Jika kemudian terjadi perubahan iklim politik di mana perbuatan dan ajaran tersebut kemudian menjadi dilarang, maka eks-PKI dan keluarga yang menjadi korban perubahan politik itu -- dan belum pernah melakukan kejahatan -- harus dipulihkan nama baiknya. Dalam hal ini, langkah Gus Dur menghapus penelitian khusus (Litsus) sebenarnya sudah merupakan langkah awal yang baik.

MPR pun harus menjajaki sejauh mana kesiapan masyarakat terhadap pencabutan Tap MPRS tersebut. Hal itu berkaitan dengan aspek eksistensi suatu peraturan baik peraturan dasar maupun peraturan perundang-undangan yakni untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi MPR harus menjajaki apakah pencabutan Tap MPRS tersebut memang dibutuhkan masyarakat, dan siap diterima sehingga tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Bila pemberlakuan atau pentidakberlakuan suatu peraturan tidak tepat waktunya, maka yang akan timbul adalah penolakan di sana-sini, sebagaimana yang pernah terjadi terhadap RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (yang hingga sekarang belum disahkan), UU Lalulintas dan Angkutan Jalan (UU No 14 Tahun 1992), yang terpaksa ditunda berlakunya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1 Tahun 1992, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Hal itu terjadi karena rencana pemberlakuannya belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat karena dianggap tidak dibutuhkan. Untuk itulah, MPR harus melihat indikator-indikator masyarakat tersebut.

Selanjutnya, MPR juga harus mempertimbangkan apakah mungkin pencabutan Tap MPRS tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemerdekaan bagi seseorang mempelajari paham komunisme (termasuk menyebarkannya), namun tetap melarang PKI untuk hidup kembali. Apakah mungkin hal tersebut diterapkan, tanpa menimbulkan pertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945?

Rasanya akan sulit untuk dipahami, jika suatu ajaran diperbolehkan untuk dipelajari dan disebarkan, tetapi pembentukan partainya dilarang. Bila Tap tersebut dicabut dan ajaran komunis diperbolehkan untuk dipelajari dan disebarkan, maka -- menurut penulis -- tak ada alasan untuk melarang pendirian kembali PKI. Larangan pendirian kembali PKI justru akan melanggar Pasal 28 UUD 1945, khususnya tentang kebebasan berserikat dan berkumpul.

Padahal, Pasal 3 Tap MPRS No XXV/1966 telah memungkinkan kalangan akademis di universitas untuk mempelajari paham Komunisme/Marxisme-Leninisme secara ilmiah. Jadi, bila hanya ingin memberi kesempatan agar paham tersebut dapat dikaji lebih luas secara ilmiah, kiranya apa yang tercantum dalam Pasal 3 Tap MPRS XXV/1966 sudah cukup, sehingga Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 tidak perlu dicabut.

Di sinilah kira perlu adanya kearifan MPR dalam mengambil sikap, dengan melihat dan mendengar masukan-masukan dari masyarakat. Namun apa pun keputusan yang kelak diambil MPR hendaknya hal itu dilandasi pertimbangan atas dasar rasa kebutuhan masyarakat, dan dengan mempertimbangkan kemungkinan perbenturannya dengan UUD '45.

Rabu, 20 Juni 2012

TENTANG MARX


Karl Heinrich Marx (1818-1883) dikenal bukan sebagai filsuf tetapi sebagai komunis revolusioner, yang karya-karyanya menginspirasi dasar dari rezim komunis banyak pada abad kedua puluh. Sulit untuk memikirkan banyak orang yang memiliki pengaruh sebanyak dalam penciptaan dunia modern. Dilatih sebagai seorang filsuf, Marx berpaling dari filsafat berusia pertengahan dua puluhan, menuju ekonomi dan politik. Namun, selain terang-terangan filosofis awal bekerja, tulisan-tulisannya nanti memiliki banyak titik kontak dengan debat filosofis kontemporer, terutama dalam filsafat sejarah dan ilmu-ilmu sosial, dan dalam filsafat moral dan politik. Materialisme historis - teori Marx tentang sejarah - ini berpusat di sekitar gagasan bahwa bentuk kenaikan masyarakat dan jatuh karena mereka lebih lanjut dan kemudian menghambat perkembangan tenaga produktif manusia. Marx melihat proses sejarah sebagai melanjutkan melalui serangkaian diperlukan cara produksi, yang ditandai dengan perjuangan kelas, yang berpuncak pada komunisme. Analisis ekonomi Marx tentang kapitalisme didasarkan pada versi tentang teori nilai kerja, dan termasuk analisis keuntungan kapitalis sebagai ekstraksi nilai lebih dari kaum proletar dieksploitasi. Analisis sejarah dan ekonomi berkumpul di prediksi Marx tentang hancurnya ekonomi tak terelakkan dari kapitalisme, untuk digantikan oleh komunisme. Namun Marx menolak untuk berspekulasi secara rinci tentang sifat komunisme, dengan alasan bahwa itu akan muncul melalui proses historis, dan bukan realisasi cita-cita yang telah ditentukan moral.



1. Hidup dan Pekerjaan

Karl Marx lahir di Trier, di Rhineland Jerman, pada tahun 1818. Meskipun keluarganya adalah Yahudi mereka menjadi Kristen sehingga ayahnya bisa mengejar karirnya sebagai pengacara dalam menghadapi anti-Yahudi Prusia hukum. Seorang anak sekolah dewasa sebelum waktunya, Marx belajar hukum di Bonn dan Berlin, dan kemudian menulis sebuah tesis PhD dalam bidang Filsafat, membandingkan pandangan Democritus dan Epicurus. Setelah menyelesaikan gelar doktor pada tahun 1841 Marx berharap untuk pekerjaan akademis, tetapi ia sudah jatuh dengan terlalu radikal sekelompok pemikir dan tidak ada prospek nyata. Beralih ke jurnalistik, Marx cepat menjadi terlibat dalam masalah politik dan sosial, dan segera menemukan dirinya harus mempertimbangkan teori komunis. Dari sekian banyak tulisan-tulisan awal, empat, khususnya, menonjol. 'Kontribusi ke Kritik Filsafat Hegel tentang Hak, Pengantar', dan 'Terhadap Masalah Yahudi ", keduanya ditulis pada 1843 dan diterbitkan dalam Deutsch-Französische Jahrbücher. Para Naskah Ekonomi dan Filosofis, yang ditulis di Paris 1844, dan 'Theses tentang Feuerbach' dari 1845, tetap tidak diterbitkan dalam seumur hidup Marx.

The German Ideology, ditulis bersama Engels pada tahun 1845, juga tidak dipublikasikan tetapi disinilah kita melihat Marx mulai mengembangkan teori sejarah. Manifesto Komunis mungkin adalah karya Marx yang paling banyak dibaca, bahkan jika tidak buku terbaik untuk pemikirannya. Ini lagi bersama-sama ditulis dengan Engels dan diterbitkan dengan rasa kegembiraan sebagai Marx kembali ke Jerman dari pengasingan untuk mengambil bagian dalam revolusi tahun 1848. Dengan kegagalan revolusi, Marx pindah ke London dimana dia menetap untuk sisa hidupnya. Dia sekarang berkonsentrasi pada studi ekonomi, produksi, pada tahun 1859. Kontribusi kepada seorang Kritik Ekonomi Politik. Ini sebagian besar diingat untuk Kata Pengantar-nya, di mana Marx sketsa apa yang dia sebut "prinsip-prinsip 'pemikirannya, di mana banyak interpretasi materialisme sejarah didasarkan. Pekerjaan utama ekonomi Marx adalah, tentu saja, Modal Volume 1, diterbitkan pada tahun 1867, meskipun Volume 3, diedit oleh Engels, dan diterbitkan secara anumerta pada tahun 1894, mengandung banyak kepentingan. Akhirnya, Kritik pamflet akhir dari Program Gotha (1875) merupakan sumber penting untuk refleksi Marx pada sifat dan organisasi masyarakat komunis.

Bekerja sejauh ini disebutkan hanya pada sebuah fragmen kecil dari karya Marx, yang akhirnya akan berjalan ke sekitar 100 volume besar ketika karya-karyanya dikumpulkan selesai. Namun item yang dipilih di atas membentuk inti yang paling penting dari sudut pandang koneksi Marx dengan filsafat, meskipun karya-karya lain, seperti Brumaire ke-18 dari Louis Napoleon (1852), sering dianggap sebagai sama penting dalam menilai analisis Marx tentang politik beton peristiwa. Dalam bagian berikut, saya akan berkonsentrasi pada teks-teks dan isu-isu yang telah diberikan perhatian yang besar dalam literatur Anglo-Amerika filosofis.



2. Awal Tulisan

Iklim intelektual dalam mana Marx muda bekerja didominasi oleh pengaruh Hegel, dan reaksi terhadap Hegel oleh kelompok yang dikenal sebagai Hegelian Muda, yang menolak apa yang mereka anggap sebagai implikasi konservatif pekerjaan Hegel. Yang paling signifikan dari para pemikir adalah Ludwig Feuerbach, yang berusaha untuk mengubah metafisika Hegel, dan, dengan demikian, memberikan kritik terhadap doktrin Hegel agama dan negara. Sebagian besar isi filosofis Marx bekerja ditulis pada 1840-an awal adalah catatan perjuangannya untuk menentukan posisinya sendiri sebagai reaksi terhadap yang Hegel dan Feuerbach dan orang-Hegelian Muda lainnya.


2,1 'Pada Pertanyaan Yahudi "

Dalam teks ini Marx mulai untuk menjelaskan jarak antara dirinya dan rekan radikal liberal di kalangan Hegelian Muda, dalam Bauer Bruno tertentu. Bauer baru-baru ini ditulis untuk melawan emansipasi Yahudi, dari perspektif ateis, dengan alasan bahwa agama baik Yahudi dan Kristen justru menghalangi emansipasi. Dalam menanggapi Bauer, Marx membuat salah satu argumen paling abadi dari tulisan-tulisan awal, dengan cara memperkenalkan perbedaan antara emansipasi politik - yang pada dasarnya pemberian hak liberal dan kebebasan - dan emansipasi manusia. Jawaban Marx kepada Bauer adalah bahwa emansipasi politik adalah sempurna kompatibel dengan kelangsungan hidup agama, sebagai contoh kontemporer Amerika Serikat menunjukkan. Namun, mendorong hal-hal yang lebih dalam, dalam sebuah argumen diciptakan kembali oleh para kritikus yang tak terhitung liberalisme, Marx berpendapat bahwa tidak hanya emansipasi politik cukup untuk membawa emansipasi manusia, adalah dalam arti tertentu juga penghalang. Hak liberal dan ide-ide keadilan yang didasarkan pada gagasan bahwa setiap dari kita perlu perlindungan dari manusia lain. Oleh karena itu hak liberal adalah hak pemisahan, yang dirancang untuk melindungi kita dari ancaman yang dirasakan tersebut. Kebebasan pada pandangan seperti itu, adalah kebebasan dari campur tangan. Apa pandangan ini mengabaikan kemungkinan - bagi Marx, kenyataan - bahwa kebebasan sebenarnya adalah untuk ditemukan positif dalam hubungan kita dengan orang lain. Hal ini dapat ditemukan dalam masyarakat manusia, tidak dipisahkan. Jadi bersikeras pada rezim hak mendorong kita untuk melihat satu sama lain dalam cara yang mengurangi kemungkinan kebebasan nyata kita dapat menemukan dalam emansipasi manusia. Sekarang kita harus jelas bahwa Marx tidak menentang emansipasi politik, sebab Ia melihat bahwa liberalisme adalah perbaikan besar pada sistem prasangka dan diskriminasi yang ada di Jerman pada zamannya. Namun demikian, seperti liberalisme politik emansipasi harus dilampaui pada rute untuk emansipasi manusia asli. Sayangnya, Marx tidak pernah mengatakan kepada kita apa emansipasi manusia, meskipun jelas bahwa itu berkaitan erat dengan ide tenaga kerja non-terasing, yang kita akan mengeksplorasi di bawah ini.


2,2 'Kontribusi ke Kritik Filsafat Hegel tentang Hak, Pengantar'

Karya ini adalah rumah bagi pernyataan terkenal Marx bahwa agama adalah 'candu bagi rakyat, dan di sini bahwa Marx menetapkan pandangannya tentang agama secara rinci paling. Sama pentingnya Marx sini juga mempertimbangkan pertanyaan bagaimana revolusi bisa diraih di Jerman, dan menetapkan peran kaum proletar dalam mewujudkan emansipasi masyarakat secara keseluruhan.

Mengenai agama, Marx sepenuhnya menerima klaim Feuerbach bertentangan dengan teologi tradisional bahwa manusia telah diciptakan Allah dalam citra mereka sendiri, memang tampilan yang lama pra-tanggal Feuerbach. Kontribusi khusus Feuerbach adalah untuk menyatakan bahwa Allah menyembah dialihkan manusia dari menikmati kekuasaan mereka sendiri manusia. Sementara menerima banyak Feuerbach rekening Marx mengkritik Feuerbach dengan alasan bahwa ia telah gagal untuk memahami mengapa orang jatuh ke dalam keterasingan agama dan sebagainya tidak dapat menjelaskan bagaimana hal itu bisa dilampaui. Penjelasan Marx adalah agama yang merupakan respon keterasingan dalam kehidupan material, dan karena itu tidak dapat dihapus sampai kehidupan material manusia beremansipasi, di mana agama titik akan melenyap. Tepatnya apa itu tentang kehidupan material yang menciptakan agama tidak diatur dengan kejelasan lengkap. Namun, tampaknya bahwa setidaknya dua aspek keterasingan bertanggung jawab. Salah satunya adalah terasing tenaga kerja, yang akan dibahas segera. Yang kedua adalah kebutuhan bagi manusia untuk menegaskan esensi komunal mereka. Apakah kita secara eksplisit mengenalinya, manusia ada sebagai sebuah komunitas, dan apa yang membuat kehidupan manusia mungkin adalah saling ketergantungan kita pada jaringan yang luas dari hubungan sosial dan ekonomi yang menelan kita semua, meskipun ini jarang diakui dalam kita sehari- hari kehidupan. Pandangan Marx tampaknya bahwa kita harus, bagaimanapun juga, mengakui keberadaan komunal kami di lembaga kami. Pada awalnya itu adalah 'DA diakui' oleh agama, yang menciptakan ide palsu dari sebuah komunitas di mana kita semua sama di mata Allah. Setelah pasca-Reformasi fragmentasi agama, dimana agama tidak lagi dapat memainkan peran bahkan dari komunitas yang palsu sama, negara memenuhi kebutuhan ini dengan menawarkan kita ilusi dari komunitas warga, semua sama di mata hukum. Tetapi negara dan agama keduanya akan melampaui ketika masyarakat asli sama sosial dan ekonomi dibuat.

Tentu saja kita berutang jawaban atas pertanyaan bagaimana masyarakat seperti itu bisa dibuat. Sangat menarik untuk membaca Marx di sini dalam terang Tesis tentang Feuerbach yang ketiga di mana ia mengkritik teori alternatif. Materialisme kasar Robert Owen dan lain-lain mengasumsikan bahwa manusia sepenuhnya ditentukan oleh keadaan materi mereka, dan karena itu untuk mewujudkan sebuah masyarakat emansipasi itu perlu dan cukup untuk membuat perubahan yang tepat untuk situasi material. Namun, bagaimana situasi yang akan berubah? Oleh dermawan tercerahkan seperti Owen yang secara ajaib dapat menembus rantai determinasi yang mengikat ke orang lain? Respon Marx, baik dalam dan Kritik Theses, adalah bahwa proletariat dapat membebaskan diri hanya dengan sendiri aksi mereka mengubah diri. Memang jika mereka tidak menciptakan revolusi untuk diri mereka sendiri - dipandu, tentu saja, oleh filsuf - mereka tidak akan fit untuk menerimanya.


2,3 Ekonomi dan filosofis Mushaf

Para Naskah Ekonomi dan Filosofis mencakup berbagai topik, termasuk banyak bahan menarik tentang milik pribadi dan komunisme, dan uang, serta mengembangkan kritik Marx terhadap Hegel. Namun, naskah-naskah yang terkenal karena account mereka kerja terasing. Di sini Marx terkenal menggambarkan pekerja di bawah kapitalisme menderita empat jenis tenaga kerja terasing. Pertama, dari produk, yang segera setelah dibuat diambil dari produsernya. Kedua, dalam kegiatan produktif (pekerjaan) yang dialami sebagai siksaan. Ketiga, dari spesies-yang, bagi manusia menghasilkan membabi buta dan tidak sesuai dengan kekuatan mereka benar-benar manusia. Akhirnya, dari manusia lain, di mana hubungan pertukaran menggantikan kepuasan saling membutuhkan. Bahwa kategori ini tumpang tindih dalam beberapa hal tidak mengherankan mengingat ambisi luar biasa metodologi Marx dalam tulisan-tulisan ini. Pada dasarnya ia mencoba untuk menerapkan pengurangan Hegelian kategori untuk ekonomi, berusaha untuk menunjukkan bahwa semua kategori ekonomi borjuis - upah, sewa, uang, keuntungan, dll - yang pada akhirnya berasal dari analisis konsep alienasi. Akibatnya setiap kategori kerja terasing seharusnya deducible dari yang sebelumnya. Namun, Marx mendapat lagi dari deduksi kategori tenaga kerja terasing satu sama lain. Sangat mungkin dalam menulis ia datang untuk memahami bahwa metodologi yang berbeda diperlukan untuk mendekati isu-isu ekonomi. Namun demikian kita dibiarkan dengan teks yang sangat kaya pada sifat kerja terasing. Ide non-alienasi harus disimpulkan dari negatif, dengan bantuan satu bagian pendek di akhir teks 'On James Mill' di mana non-terasing tenaga kerja secara singkat dijelaskan dalam istilah yang menekankan baik kenikmatan produsen langsung yang produksi sebagai konfirmasi nya atau kekuatannya, dan juga gagasan bahwa produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain, sehingga mengkonfirmasikan bagi kedua belah pihak esensi kita sebagai manusia dengan saling ketergantungan. Kedua sisi esensi spesies kita yang terungkap di sini: kekuatan pribadi kita manusia dan keanggotaan kita dalam komunitas manusia.

Penting untuk memahami bahwa bagi Marx alienasi bukan hanya soal perasaan subjektif, atau kebingungan. Jembatan antara analisis awal Marx tentang keterasingan dan teori sosial kemudian adalah gagasan bahwa individu yang terasing adalah 'mainan kekuatan asing', meskipun pasukan asing yang dengan sendirinya merupakan produk tindakan manusia. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita mengambil keputusan yang memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan, yang kemudian bergabung untuk menciptakan skala besar kekuatan sosial yang mungkin memiliki efek sama sekali tidak diperkirakan. Dalam pandangan Marx lembaga kapitalisme - sendiri konsekuensi dari perilaku manusia - kembali untuk struktur perilaku masa depan kita, menentukan kemungkinan tindakan kita. Sebagai contoh, selama kapitalis bermaksud untuk bertahan dalam bisnis ia harus mengeksploitasi pekerjanya dengan batas hukum. Apakah atau tidak didera oleh rasa bersalah kapitalis harus bertindak sebagai pelaku eksploitasi kejam. Demikian pula pekerja harus mengambil pekerjaan terbaik yang ditawarkan, ada hanya ada pilihan waras lainnya. Tapi dengan melakukan ini kita memperkuat struktur yang sangat yang menindas kita. Dorongan untuk mengatasi kondisi ini, dan untuk mengambil kontrol kolektif takdir kita - apa pun itu berarti dalam praktek - adalah salah satu unsur memotivasi dan mempertahankan analisis sosial Marx.


2,4 'Theses tentang Feuerbach'

Para Theses tentang Feuerbach berisi salah satu dari pernyataan Marx yang paling berkesan: "para filsuf hanya menafsirkan dunia, intinya adalah untuk mengubahnya" (Tesis 11). Namun sebelas tesis secara keseluruhan memberikan, dalam kompas dari beberapa halaman, digest luar biasa dari reaksi Marx dengan filosofi dari zamannya. Beberapa ini telah menyentuh sudah (misalnya, diskusi agama dalam tesis 4, 6 dan 7, dan revolusi dalam tesis 3) jadi di sini saya akan berkonsentrasi hanya pada tesis, pertama yang paling terang-terangan filosofis,.

Dalam tesis pertama Marx menyatakan keberatan untuk 'semua yang ada sampai sekarang' materialisme dan idealisme. Materialisme ini dilengkapi untuk memahami realitas fisik dari dunia, tetapi dikritik karena mengabaikan peran aktif dari subjek manusia dalam menciptakan dunia yang kita rasakan. Idealisme, setidaknya seperti yang dikembangkan oleh Hegel, mengerti sifat aktif dari subjek manusia, tetapi batas-batas ke pemikiran atau perenungan: dunia diciptakan melalui kategori kita memaksakan atasnya. Marx menggabungkan wawasan dari kedua tradisi untuk mengusulkan pandangan di mana manusia memang menciptakan - atau setidaknya mengubah - dunia mereka menemukan dirinya dalam, tetapi transformasi ini terjadi bukan di pikiran tetapi melalui aktivitas bahan yang sebenarnya; tidak melalui pengenaan luhur konsep tetapi melalui keringat dari dahi mereka, dengan cangkul dan sekop. Versi sejarah materialisme, yang melampaui dan dengan demikian menolak semua pemikiran filosofis yang ada, adalah dasar dari teori kemudian Marx tentang sejarah. Seperti Marx menempatkan dalam Manuskrip 1844, 'adalah Industri hubungan historis yang nyata alam ... untuk manusia. Pemikiran ini, berasal dari refleksi atas sejarah filsafat, bersama dengan pengalaman dari realitas sosial dan ekonomi, sebagai jurnalis, menetapkan agenda untuk pekerjaan di masa depan semua Marx.



3. Ekonomi

Modal Volume 1 dimulai dengan analisis ide produksi komoditas. Komoditas didefinisikan sebagai objek eksternal berguna, dihasilkan untuk pertukaran di pasar. Dengan demikian dua kondisi yang diperlukan untuk produksi komoditas adalah adanya pasar, di mana pertukaran dapat terjadi, dan pembagian kerja sosial, di mana orang yang berbeda menghasilkan produk yang berbeda, tanpa yang tidak akan ada motivasi untuk pertukaran. Marx menunjukkan bahwa komoditi memiliki kedua nilai guna - penggunaan dengan kata lain - dan pertukaran nilai - awalnya harus dipahami sebagai harga mereka. Nilai guna dapat dengan mudah dipahami, sehingga Marx mengatakan, tapi ia menegaskan bahwa nilai tukar merupakan fenomena yang membingungkan, dan nilai tukar relatif perlu dijelaskan. Mengapa kuantitas satu pertukaran komoditas untuk sejumlah tertentu komoditas lain? Penjelasannya adalah dalam hal input tenaga kerja yang diperlukan untuk memproduksi komoditi, atau lebih tepatnya, kerja sosial yang diperlukan, yang merupakan tenaga kerja yang diberikan pada tingkat rata-rata intensitas dan produktivitas untuk itu cabang kegiatan dalam perekonomian. Dengan demikian teori nilai kerja menegaskan bahwa nilai komoditi ditentukan oleh kuantitas waktu kerja sosial yang diperlukan untuk memproduksinya. Marx memberikan argumen tahap dua untuk teori nilai kerja. Tahap pertama adalah untuk berpendapat bahwa jika dua benda dapat dibandingkan dalam arti yang diletakkan di kedua sisi sebuah tanda sama dengan, maka harus ada 'Hal ketiga yang besarnya sama dalam keduanya' dimana mereka menjadi direduksi keduanya. Sebagai komoditas dapat dipertukarkan satu sama lain, harus, Marx berpendapat, menjadi hal yang ketiga bahwa mereka memiliki kesamaan. Hal ini kemudian memotivasi tahap kedua, yang merupakan pencarian untuk 'Hal ketiga' yang tepat, yang merupakan tenaga kerja dalam pandangan Marx, sebagai satu-satunya elemen umum yang masuk akal. Kedua langkah dari argumen, tentu saja, sangat contestable.

Kapitalisme adalah khas, Marx berpendapat, dalam hal ini melibatkan tidak hanya pertukaran komoditas, tetapi kemajuan modal, dalam bentuk uang, dengan tujuan menghasilkan keuntungan melalui pembelian komoditas dan transformasi mereka ke komoditas lain yang dapat perintah harga yang lebih tinggi, dan dengan demikian menghasilkan keuntungan. Marx mengklaim bahwa tidak ada teori sebelumnya telah mampu memadai untuk menjelaskan bagaimana kapitalisme secara keseluruhan dapat membuat keuntungan. Solusi sendiri Marx bergantung pada gagasan eksploitasi pekerja. Dalam menyiapkan kondisi-kondisi produksi kapitalis pembelian tenaga kerja pekerja - kemampuannya untuk tenaga kerja - untuk hari itu. Biaya komoditas ini ditentukan dengan cara yang sama dengan biaya dari setiap lainnya; yaitu dalam hal jumlah tenaga kerja sosial yang diperlukan untuk memproduksinya. Dalam hal ini nilai tenaga pekerja harian adalah nilai komoditi yang diperlukan untuk menjaga pekerja hidup selama sehari. Misalkan komoditas seperti mengambil empat jam untuk menghasilkan. Dengan demikian empat jam pertama hari kerja dihabiskan untuk menghasilkan nilai setara dengan nilai upah pekerja akan dibayar. Hal ini dikenal sebagai tenaga kerja yang diperlukan. Setiap pekerjaan pekerja tidak di atas ini dikenal sebagai kerja surplus, menghasilkan nilai lebih untuk kapitalis. Nilai lebih, menurut Marx, adalah sumber keuntungan semua. Dalam kerja buruh Marx analisis adalah komoditas hanya yang dapat menghasilkan nilai lebih dari itu sangat berharga, dan untuk alasan ini dikenal sebagai modal variabel. Komoditas lain cukup dengan memberikan nilai mereka ke komoditas jadi, tapi tidak menciptakan nilai ekstra. Mereka dikenal sebagai kapital konstan. Laba, kemudian, adalah hasil dari kerja yang dilakukan oleh pekerja di luar itu diperlukan untuk menciptakan nilai nya atau upahnya. Ini adalah teori nilai surplus keuntungan.

Tampaknya untuk mengikuti dari analisis ini bahwa sebagai industri menjadi lebih mekanik, menggunakan lebih banyak modal konstan dan modal variabel kurang, tingkat laba harus jatuh. Untuk sebagai modal proporsi kurang akan maju pada tenaga kerja, dan hanya tenaga kerja dapat menciptakan nilai. Modal Volume 3 Marx memang membuat prediksi bahwa tingkat laba akan jatuh dari waktu ke waktu, dan ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan kejatuhan kapitalisme. (Namun, seperti yang ditunjukkan oleh mampu ekspositor Paulus Marx Sweezy dalam Teori Pembangunan Kapitalis, analisis bermasalah.) Konsekuensi lebih lanjut dari analisis ini adalah kesulitan bagi teori bahwa Marx tidak mengakui, dan mencoba, meskipun tidak berhasil, untuk memenuhi juga dalam Volume Modal 3. Ini mengikuti dari analisis sejauh bahwa industri padat karya harus memiliki tingkat lebih tinggi dari keuntungan dibandingkan mereka yang menggunakan lebih sedikit tenaga kerja. Tidak hanya ini secara empiris palsu, secara teori dapat diterima. Dengan demikian, Marx berpendapat bahwa harga secara real kehidupan ekonomi bervariasi secara sistematis dari nilai-nilai. Memberikan matematika untuk menjelaskan ini dikenal sebagai masalah transformasi, dan berusaha sendiri Marx menderita kesulitan teknis. Meskipun ada teknik yang diketahui untuk memecahkan masalah ini sekarang (meskipun dengan konsekuensi sisi yang tidak disukai), kita harus ingat bahwa teori nilai kerja awalnya termotivasi sebagai teori intuitif masuk akal harga. Tapi ketika hubungan antara harga dan nilai yang diberikan sebagai tidak langsung seperti di teori akhir, motivasi intuitif dari teori mengalir pergi. Tetapi bahkan jika pembela teori ini masih belum siap untuk mengakui kekalahan, keberatan lebih lanjut muncul menghancurkan. Pernyataan Marx bahwa kerja hanya dapat menciptakan nilai lebih tidak didukung oleh argumen atau analisis, dan bisa dikatakan menjadi hanya sebuah artefak dari sifat presentasinya. Komoditas apapun dapat dipilih untuk memainkan peran serupa. Akibatnya dengan pembenaran sama orang bisa menetapkan sebuah teori jagung nilai, dengan alasan bahwa jagung memiliki kekuatan unik untuk menciptakan nilai lebih daripada biaya. Secara formal ini akan menjadi identik dengan teori nilai kerja.

Meskipun analisis ekonomi Marx didasarkan pada teori kerja mendiskreditkan nilai, ada unsur-unsur dari teori yang tetap bernilai. Ekonom Cambridge Joan Robinson, di An Essay on Ekonomi Marxis, memilih dua aspek dari catatan khusus. Pertama, penolakan Marx untuk menerima kapitalisme yang melibatkan harmoni kepentingan antara pekerja dan kapitalis, menggantikan ini dengan analisis berbasis kelas perjuangan pekerja untuk upah yang lebih baik dan kondisi kerja, dibandingkan drive kapitalis untuk keuntungan semakin besar. Kedua, penolakan Marx bahwa ada kecenderungan jangka panjang untuk keseimbangan di pasar, dan penjelasan tentang mekanisme yang mendasari trade-siklus boom dan bust. Keduanya memberikan korektif bermanfaat untuk aspek teori ekonomi ortodoks.



4. Teori Sejarah

Marx tidak berangkat teori tentang sejarah dengan sangat rinci. Dengan demikian, itu harus dibangun dari berbagai teks, baik yang mana ia mencoba untuk menerapkan analisis teoritis untuk peristiwa sejarah masa lalu dan masa depan, dan mereka yang lebih bersifat murni teoritis. Yang terakhir, Pendahuluan 1859 ke A Critique of Political Economy telah mencapai status kanonik. Namun, Ideologi Jerman, ditulis bersama Engels pada tahun 1845, merupakan sumber awal penting di mana Marx pertama menetapkan dasar-dasar pemikiran tentang materialisme historis. Kami akan secara singkat garis besar kedua teks, dan kemudian melihat rekonstruksi teori Marx tentang sejarah di tangan filosofis paling berpengaruh eksponen baru-baru ini, GA Cohen, yang dibangun di atas interpretasi Marxis awal Plekhanov Rusia.

Kita harus, bagaimanapun, harus menyadari bahwa interpretasi Cohen tidak diterima secara universal. Cohen disediakan rekonstruksi nya Marx sebagian karena dia frustrasi dengan Hegel yang diilhami yang ada "dialektis" interpretasi Marx yang terkait terutama dengan Louis Althusser, yang ia merasa tidak memberikan account ketat pandangan Marx. Namun, beberapa sarjana percaya bahwa interpretasi bahwa kita akan fokus pada rusak justru karena kurangnya perhatian terhadap dialektika. Salah satu aspek dari kritik ini adalah bahwa pemahaman Cohen memiliki peran mengherankan kecil untuk konsep perjuangan kelas, yang sering dirasakan menjadi sentral bagi teori Marx tentang sejarah. Penjelasan Cohen untuk ini adalah bahwa Pendahuluan 1859, yang penafsirannya didasarkan, tidak memberikan peran penting untuk perjuangan kelas, dan kenyataannya saat ini tidak disebutkan secara eksplisit. Namun alasan ini bermasalah karena adalah mungkin bahwa Marx tidak ingin menulis dengan cara yang akan terlibat keprihatinan polisi sensor, dan, memang, pembaca menyadari konteks mungkin dapat mendeteksi referensi implisit untuk perjuangan kelas melalui masuknya frasa seperti "kemudian mulai era revolusi sosial", dan "bentuk-bentuk ideologis di mana orang menjadi sadar tentang konflik ini dan berjuang keluar". Oleh karena itu tidak berarti bahwa Marx sendiri berpendapat bahwa konsep perjuangan kelas relatif tidak penting. Selanjutnya, ketika Sebuah Kritik Ekonomi Politik digantikan oleh Capital, Marx tidak berusaha untuk menjaga Pendahuluan 1859 di cetak, dan isinya direproduksi hanya sebagai catatan kaki singkat sangat banyak di Modal. Namun demikian kita akan berkonsentrasi di sini pada interpretasi Cohen karena tidak ada account lain telah berangkat dengan kekakuan sebanding, presisi dan detail.


4.1 Ideologi Jerman

Dalam Kontras Marx dan Engels Ideologi Jerman baru metode mereka materialis dengan idealisme yang telah ditandai pemikiran Jerman sebelumnya. Dengan demikian, mereka bersusah payah untuk berangkat 'bangunan dari metode materialis' itu. Mereka mulai, mereka mengatakan, dari 'manusia nyata', menekankan bahwa manusia pada dasarnya produktif, dalam arti bahwa mereka harus menghasilkan berarti mereka subsisten untuk memenuhi kebutuhan materi mereka. Kepuasan melahirkan kebutuhan kebutuhan baru dari kedua material dan baik sosial, dan bentuk masyarakat timbul sesuai dengan keadaan perkembangan kekuatan produktif manusia. Kehidupan material menentukan, atau setidaknya kehidupan sosial 'kondisi', dan maka arah utama dari penjelasan sosial dari produksi bahan untuk bentuk-bentuk sosial, dan dari situ ke bentuk kesadaran. Sebagai bahan sarana produksi berkembang, 'mode kerjasama' atau ekonomi naik struktur dan jatuh, dan akhirnya komunisme akan menjadi kemungkinan nyata sekali nasib para pekerja dan kesadaran mereka tentang alternatif yang memotivasi mereka cukup untuk menjadi revolusioner.


4.2 1859

Dalam sketsa Ideologi Jerman, semua elemen kunci dari materialisme historis yang hadir, bahkan jika terminologi belum bahwa tulisan-tulisan Marx lebih matang. Pernyataan Marx pada tahun 1859 Pendahuluan membuat banyak pandangan yang sama dalam bentuk yang lebih tajam. Rekonstruksi Cohen pandang Marx dalam Pendahuluan dimulai dari apa Cohen menyebut Tesis Pembangunan, yang adalah pra-seharusnya, bukan secara eksplisit dinyatakan dalam Pendahuluan. Ini adalah tesis bahwa kekuatan produktif cenderung untuk mengembangkan, dalam arti menjadi lebih kuat, dari waktu ke waktu. Ini menyatakan bahwa mereka tidak selalu melakukan mengembangkan, tapi ada kecenderungan bagi mereka untuk melakukannya. Kekuatan produksi berada alat-alat produksi, bersama-sama dengan pengetahuan produktif yang berlaku: teknologi, dengan kata lain. Tesis berikutnya adalah tesis keutamaan, yang memiliki dua aspek. Yang pertama menyatakan bahwa sifat struktur ekonomi dijelaskan oleh tingkat perkembangan kekuatan produktif, dan yang kedua bahwa sifat superstruktur - lembaga politik dan hukum masyarakat-dijelaskan oleh sifat struktur ekonomi. Sifat ideologi suatu masyarakat, yang adalah untuk mengatakan, keyakinan agama artistik, moral dan filosofis yang terkandung dalam masyarakat, juga dijelaskan dalam hal struktur ekonomi, meskipun ini menerima kurang penekanan dalam penafsiran Cohen. Memang banyak kegiatan mungkin menggabungkan aspek baik suprastruktur dan ideologi: agama didasari oleh kedua lembaga dan satu set keyakinan.

Revolusi dan perubahan zaman dipahami sebagai konsekuensi dari struktur ekonomi tidak lagi mampu untuk terus mengembangkan kekuatan produksi. Pada titik ini perkembangan kekuatan produktif dikatakan terbelenggu, dan, menurut teori sekali struktur pengembangan belenggu ekonomi akan merevolusi - 'meledak terbelah' - dan akhirnya diganti dengan struktur ekonomi lebih cocok untuk memimpin terus perkembangan kekuatan produksi.

Secara garis besar, kemudian, teori ini memiliki kesederhanaan menyenangkan dan kekuasaan. Tampaknya masuk akal bahwa kekuatan produktif manusia berkembang dari waktu ke waktu, dan masuk akal juga bahwa struktur ekonomi ada untuk selama mereka mengembangkan kekuatan produktif, namun akan diganti ketika mereka tidak lagi mampu melakukan hal ini. Namun masalah berat muncul ketika kita mencoba untuk menempatkan daging lebih pada tulang-tulang ini.


4,3 Fungsional Penjelasan

Sebelum pekerjaan Cohen, materialisme historis tidak pernah dianggap sebagai pandangan yang koheren dalam bahasa Inggris filsafat politik. Antipati ini juga menyimpulkan dengan kata-kata penutupan HB Acton itu Ilusi Epoch itu: "Marxisme adalah aneka rupa filosofis". Salah satu kesulitan terutama diambil serius oleh Cohen adalah inkonsistensi dugaan antara keutamaan jelas dari kekuatan-kekuatan produksi, dan klaim tertentu dibuat di tempat lain oleh Marx yang muncul untuk memberikan keunggulan struktur ekonomi dalam menjelaskan perkembangan kekuatan produktif. '. Kaum borjuis tidak bisa ada tanpa terus-menerus merevolusi alat-alat produksi': Misalnya, dalam Manifesto Marx Komunis menyatakan bahwa ini muncul untuk memberikan keutamaan kausal dan jelas dengan struktur ekonomi - kapitalisme - yang membawa tentang perkembangan kekuatan produksi . Cohen menerima bahwa, pada permukaan setidaknya, ini menghasilkan kontradiksi. Kedua struktur ekonomi dan perkembangan kekuatan produktif tampaknya memiliki prioritas jelas satu sama lain.

Tidak puas dengan resolusi yang tidak jelas seperti 'penentuan dalam hal yang terakhir', atau ide "dialektis" koneksi, Cohen diri secara sadar upaya untuk menerapkan standar kejelasan dan ketegasan dari filsafat analitik untuk menyediakan versi direkonstruksi materialisme historis.

Inovasi teoritis utama adalah untuk menarik gagasan penjelasan fungsional (juga kadang disebut 'konsekuensi penjelasan'). Langkah penting adalah riang mengakui bahwa struktur ekonomi memang mengembangkan kekuatan produktif, tetapi menambahkan bahwa ini, menurut teori, justru mengapa kita memiliki kapitalisme (ketika kita lakukan). Artinya, jika kapitalisme gagal mengembangkan kekuatan produktif itu akan menghilang.




5. Moralitas

Masalah Marx dan moralitas menimbulkan teka-teki. Ketika membaca karya-karya Marx di semua periode hidupnya, tampaknya menjadi kebencian yang paling kuat terhadap masyarakat kapitalis borjuis, dan suatu dukungan yang tak diragukan dari masyarakat komunis masa depan. Namun hal ini antipati dan dukungan jauh dari jelas. Meskipun harapan, Marx tidak pernah mengatakan bahwa kapitalisme tidak adil. Baik yang dia katakan bahwa komunisme akan menjadi bentuk hanya dari masyarakat. Bahkan ia membutuhkan berusaha menjauhkan diri dari mereka yang terlibat dalam wacana keadilan, dan membuat upaya sadar untuk mengecualikan komentar moral yang langsung dalam karya-karya sendiri. Teka-teki adalah mengapa ini harus, mengingat berat komentar moral yang tidak langsung orang menemukan.

Ada, pada awalnya, pertanyaan terpisah, mengenai sikap Marx terhadap kapitalisme dan komunisme. Ada juga pertanyaan terpisah mengenai sikapnya terhadap ide-ide keadilan, dan ide-ide moralitas lebih luas bersangkutan. Ini, kemudian, menghasilkan empat pertanyaan: (1) Apakah Marx berpikir kapitalisme yang tidak adil, (2) dia berpikir bahwa kapitalisme bisa secara moral dikritik atas dasar lainnya, (3) dia berpikir bahwa komunisme akan sama? (4) dia pikir itu bisa secara moral disetujui dengan alasan lain? Inilah pertanyaan-pertanyaan kita akan membahas pada bagian ini.

Argumen awal bahwa Marx pasti berpikir bahwa kapitalisme tidak adil didasarkan pada pengamatan bahwa Marx berpendapat bahwa semua keuntungan kapitalis pada akhirnya berasal dari eksploitasi pekerja. Rahasia kotor kapitalisme adalah bahwa itu bukan bidang harmonis dan saling menguntungkan tetapi sistem di mana satu kelas sistematis ekstrak keuntungan dari yang lain. Bagaimana mungkin ini gagal tidak adil? Namun perlu dicatat bahwa Marx pernah menyimpulkan ini, dan Modal dia pergi sejauh mengatakan bahwa nilai tukar tersebut adalah 'tidak berarti ketidakadilan.

Allen Wood berpendapat bahwa Marx mengambil pendekatan ini karena pendekatan umum teoretisnya tidak mencakup sudut pandang trans dr jaman yg penting dari yang satu dapat berkomentar mengenai keadilan dari sistem ekonomi. Meskipun seseorang dapat mengkritik perilaku tertentu dari dalam struktur ekonomi yang tidak adil (dan pencurian berdasarkan kapitalisme akan menjadi contoh dari ini) tidak mungkin untuk mengkritik kapitalisme secara keseluruhan. Ini adalah konsekuensi dari analisis Marx tentang peran gagasan keadilan dari dalam materialisme historis. Artinya, lembaga yuridis adalah bagian dari superstruktur, dan ide-ide keadilan yang ideologis, dan peran kedua suprastruktur dan ideologi, dalam pembacaan fungsionalis materialisme historis diadopsi di sini, adalah untuk menstabilkan struktur ekonomi. Akibatnya, untuk menyatakan bahwa sesuatu yang hanya di bawah kapitalisme hanyalah penilaian diterapkan pada elemen-elemen dari sistem yang akan cenderung memiliki efek memajukan kapitalisme. Menurut Marx, dalam masyarakat mana pun ide-ide yang berkuasa adalah mereka dari kelompok yang berkuasa; inti dari teori ideologi.

Ziyad Husami, bagaimanapun, berpendapat bahwa Kayu yang salah, mengabaikan fakta bahwa untuk ide-ide Marx menjalani penentuan ganda dalam bahwa ide-ide dari kelas yang non-kekuasaan mungkin sangat berbeda dengan kelas penguasa. Tentu saja ide-ide kelas penguasa yang menerima perhatian dan pelaksanaan, tetapi ini tidak berarti bahwa ide-ide lain tidak ada. Husami pergi sejauh untuk menyatakan bahwa anggota proletariat dibawah kapitalisme memiliki account keadilan yang sesuai dengan komunisme. Dari sudut pandang istimewa dari proletariat, yang juga sudut pandang Marx, kapitalisme adalah tidak adil, dan sehingga berikut bahwa Marx menganggap kapitalisme yang tidak adil.

Pertama, tidak dapat menjelaskan mengapa Marx tidak pernah dijelaskan kapitalisme sebagai tidak adil, dan kedua, tidak memperhitungkan jarak Marx ingin menempatkan antara sosialisme ilmiah sendiri, dan bahwa kaum sosialis utopis yang berpendapat untuk ketidakadilan kapitalisme. Oleh karena itu seseorang tidak dapat menghindari kesimpulan bahwa 'resmi' pandangan Marx adalah kapitalisme yang tidak adil.

Namun demikian, ini membuat kita dengan teka-teki. Sebagian besar uraian Marx tentang kapitalisme - ia menggunakan 'penggelapan' kata-kata, 'perampokan' dan 'eksploitasi' - mendustakan rekening resmi. Diperdebatkan, satu-satunya cara memuaskan memahami masalah ini adalah, sekali lagi, dari GA Cohen, yang mengusulkan bahwa Marx percaya bahwa kapitalisme tidak adil, tetapi tidak percaya bahwa ia percaya itu adalah tidak adil. Dengan kata lain, Marx, seperti banyak dari kita, tidak memiliki pengetahuan yang sempurna dari pikiran sendiri. Dalam refleksi eksplisit tentang keadilan kapitalisme ia mampu mempertahankan pandangan resminya. Tapi di saat-saat kurang dijaga pandangan sebenarnya slip keluar, bahkan jika tidak pernah dalam bahasa eksplisit. Penafsiran semacam itu pasti akan kontroversial, tapi masuk akal baik dari teks.

Apa pun menyimpulkan pada pertanyaan apakah Marx menganggap kapitalisme yang tidak adil, itu, bagaimanapun, jelas bahwa Marx menganggap kapitalisme itu bukan cara terbaik bagi manusia untuk hidup. Berikut poin yang dibuat dalam tulisan-tulisan awal tetap hadir di seluruh tulisannya, jika tidak lagi terhubung ke sebuah teori eksplisit keterasingan. Pekerja bekerja menemukan siksaan, menderita kemiskinan, kerja paksa dan kurangnya pemenuhan dan kebebasan. Orang tidak berhubungan satu sama lain sebagai manusia seharusnya.

Apakah jumlah ini untuk kritik moral kapitalisme atau tidak? Dengan tidak adanya alasan khusus untuk berdebat jika tidak, itu hanya tampak jelas bahwa kritik Marx adalah moral. Kapitalisme berkembang menghambat manusia.

Marx, meskipun, sekali lagi menahan diri dari membuat ini eksplisit, ia tampaknya menunjukkan tidak tertarik dalam menemukan kritiknya terhadap kapitalisme di salah satu tradisi filsafat moral, atau menjelaskan bagaimana ia menghasilkan tradisi baru. Mungkin ada dua alasan untuk berhati-hati nya. Yang pertama adalah bahwa sementara ada hal-hal buruk tentang kapitalisme ada, dari sudut sejarah dunia pandang, banyak yang baik tentang hal itu juga. Karena tanpa kapitalisme, komunisme tidak akan mungkin. Kapitalisme adalah untuk dilampaui, bukan dihapuskan, dan ini mungkin sulit untuk menyampaikan dalam hal filsafat moral.

Kedua, dan mungkin lebih penting, kita perlu kembali ke kontras antara sosialisme ilmiah dan utopis. Kaum utopis menarik ide-ide universal kebenaran dan keadilan untuk membela skema yang diusulkan mereka, dan teori mereka tentang transisi didasarkan pada gagasan bahwa menarik bagi kepekaan moral akan menjadi yang terbaik, mungkin saja, cara mewujudkan masyarakat baru yang dipilih. Marx ingin menjauhkan diri dari tradisi pemikiran utopis, dan titik utama perbedaan adalah untuk menyatakan bahwa rute untuk memahami kemungkinan emansipasi manusia terletak pada analisis kekuatan-kekuatan sejarah dan sosial, bukan dalam moralitas. Oleh karena itu, bagi Marx, setiap menarik bagi moralitas secara teoritis langkah mundur.

Hal ini membawa kita sekarang untuk penilaian Marx tentang komunisme. Apakah komunisme menjadi masyarakat yang adil? Dalam mempertimbangkan sikap Marx terhadap komunisme dan keadilan hanya ada dua kemungkinan yang layak: baik ia berpikir bahwa komunisme akan menjadi masyarakat yang adil atau ia berpikir bahwa konsep keadilan tidak akan berlaku: bahwa komunisme akan melampaui keadilan.

Komunisme digambarkan oleh Marx, dalam Kritik dari Program Gotha, sebagai sebuah masyarakat dimana setiap orang harus memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan menerima sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini tentu terdengar seperti teori keadilan, dan bisa diadopsi seperti itu. Namun itu mungkin lebih benar dengan pemikiran Marx mengatakan bahwa ini adalah bagian dari account di mana komunisme melampaui keadilan, sebagai Lukes berpendapat.

Jika kita mulai dengan ide bahwa titik ide keadilan adalah untuk menyelesaikan sengketa, maka masyarakat tanpa perselisihan akan tidak perlu atau tempat untuk keadilan. Kita bisa melihat ini dengan merenungkan ide Hume keadaan keadilan. Hume berpendapat bahwa jika ada kelimpahan materi sangat besar - jika semua orang bisa memiliki apapun yang mereka inginkan tanpa menyerang bagian lain - kita tidak akan pernah menemukan aturan keadilan. Dan, tentu saja, Marx sering disarankan bahwa komunisme akan menjadi sebuah masyarakat kelimpahan tersebut. Namun Hume juga menyatakan bahwa keadilan tidak akan diperlukan dalam keadaan lain, jika ada rekan-perasaan lengkap antara semua manusia. Sekali lagi tidak akan ada konflik dan tidak perlu untuk keadilan. Tentu saja, seseorang dapat berdebat apakah baik kelimpahan materi atau sesama manusia-perasaan untuk gelar ini akan mungkin, tapi intinya adalah bahwa kedua argumen memberikan rasa yang jelas di mana komunisme melampaui keadilan.

Namun demikian kami tetap dengan pertanyaan apakah Marx berpikir bahwa komunisme bisa dipuji atas dasar moral lainnya. Tentu saja ada alasan untuk percaya bahwa Marx tidak ingin membuat penilaian moral sama sekali, misalnya, dalam Manifesto Komunis ia menulis bahwa "komunisme menghapuskan ... semua agama dan moralitas semua, bukan merupakan mereka secara baru". Namun, mungkin bahwa Marx di sini adalah mengambil moralitas dalam pengertian yang agak sempit. Pada pemahaman yang luas, dimana moralitas, atau mungkin lebih baik untuk mengatakan etika, menyangkut dengan gagasan hidup dengan baik, tampaknya bahwa komunisme dapat dinilai baik dalam cahaya ini. Salah satu argumen adalah bahwa karir Marx cukup masuk akal kecuali kita dapat atribut seperti kepercayaan kepadanya. Tapi di luar ini kita dapat menjadi singkat dalam pertimbangan dikemukakan dalam bagian 2 di atas berlaku lagi. Komunisme jelas kemajuan manusia berkembang, dalam pandangan Marx. Satu-satunya alasan untuk menyangkal bahwa, dalam visi Marx, ia akan berjumlah masyarakat yang baik adalah antipati teoritis untuk kata 'baik'. Dan di sini titik utama adalah bahwa, dalam pandangan Marx, komunisme tidak akan dibawa oleh berjiwa dermawan kemanusiaan. Sangat mungkin tekadnya untuk mempertahankan sudut perbedaan antara dirinya dan kaum sosialis utopis dipimpin dia untuk meremehkan pentingnya moralitas sampai tingkat yang melampaui panggilan kebutuhan teoritis.

MARX DAN AGAMA


Marx adalah seorang atheis sejak kecil dan tetap seperti untuk seluruh sisa hidupnya. Atheismenya tidak hanya praktis tetapi juga teoritis. Ateisme teoritisnya adalah karena terutama untuk alasan filosofis dan hanya sekunder alasan historis, sosial dan politik.

Sudah dalam tesis doktornya, Marx menyatakan dengan tegas bahwa "di negara alasan" keberadaan Tuhan tidak dapat memiliki makna. "Ambil uang kertas ke negara di mana penggunaan uang kertas ini tidak diketahui, dan semua orang akan menertawakan representasi subjektif Anda, lanjut dengan dewa Anda ke negara di mana allah lain yang disembah. Dan Anda akan menunjukkan bahwa Anda adalah korban naksir dan abstraksi. Dan memang siapa pun yang membawa dewa migran ke Yunani kuno, telah menemukan bukti keberadaan non-tuhan ini, karena Tuhan tidak ada bagi orang-orang Yunani. Apa yang terjadi di sebuah negara tertentu untuk dewa-dewa asing tertentu, berlangsung untuk dewa pada umumnya di negara alasan: itu adalah daerah di mana keberadaannya berhenti "(Karl Marx, Frammento dell'appendice della dissertazione dottorale, dalam A. Sabetti, Sulla Fondazione del materialismo storico, Florence 1962, hal. 415).

Ateisme teoritis Marx merupakan konsekuensi dari tiga postulat:
1) Materialisme metafisik atau dialektis yang menganggap materi sebagai penyebab tertinggi dan unik dari segalanya;
2) Materialisme sejarah, yang menurutnya faktor ekonomi adalah faktor pokok dan menentukan, dan struktur ekonomi adalah struktur tercatat semua struktur lain yang membentuk masyarakat;
3) Humanisme mutlak, yang menetapkan manusia pada puncak kosmos: manusia adalah makhluk tertinggi.

Menurut saya alasan yang menentukan di mana Marx mendasarkan keatheisannyaa adalah yang ketiga. Marx adalah seorang ateis karena kecintaannya bagi manusia. Apa dia ingin menjaga dengan atheisme adalah kebesaran manusia. Dengan ateisme ia berniat untuk mengecualikan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih besar dari manusia. Hal ini mengingat kebesaran manusia bahwa ia menganggap perlu untuk menghancurkan agama, karena dalam penilaiannya yang terakhir adalah candu, obat, pengganti yang mencegah manusia dari menjadi sadar akan martabatnya.

Saya akan membawa ke depan beberapa kutipan yang mendukung tesis ini.
Dalam Masalah Yahudi kita membaca: "Bagi kami agama tidak merupakan pondasi, tetapi hanya fenomena keterbatasan duniawi Untuk alasan ini, kami akan menjelaskan penundukan agama warga bebas dengan tunduk mereka di dunia Kami menegaskan bahwa mereka akan menekan agama mereka.. pembatasan segera setelah mereka telah menekan batas duniawi mereka Kami tidak mengubah pertanyaan duniawi menjadi pertanyaan teologis.. Kami mengubah pertanyaan teologis menjadi yang duniawi "(Karl Marx, La questione ebraica, Roma 1966, hlm 81-82).

Kalimat awal dari perikop ini sangat ekspresif. Dikatakan bahwa agama adalah fenomena, bukan kenyataan. Oleh karena itu agama tidak membenarkan, tidak ditemukan, keterbatasan nyata, sebenarnya status manusia sebagai makhluk, tetapi hanya memanifestasikan kondisi historis kontingen, tidak adil dan sementara. Ini mengungkapkan kegagalan manusia untuk mencapai kebesaran sendiri. Ketika dia mencapai itu, fenomena agama akan hilang.

Dalam Pendahuluan terkenal untuk Kritik dari filsafat Hegel hukum publik, Marx memberikan formulasi lebih eksplisit dan rumit dari pandangan ini. "Kesengsaraan Agama", ia menulis, "adalah sekaligus ekspresi penderitaan nyata dan protes terhadap itu Agama adalah erangan yang tertindas., Sentimen dari dunia yang tak berperasaan, dan pada saat yang sama semangat kondisi kekurangan spiritualitas. Ini adalah candu bagi rakyat. Penindasan agama sebagai ilusi kebahagiaan rakyat adalah premis kebahagiaan sebenarnya.. Ini adalah pertama dan terutama tugas filsafat, yang beroperasi dalam pelayanan sejarah, membuka kedok diri keterasingan dalam bentuk profan, setelah bentuk suci dari keterasingan diri manusia telah ditemukan. Jadi kritik terhadap surga menjelma menjadi kritik bumi, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik ". Dan sebelumnya: "Agama adalah kesadaran dan kesadaran manusia yang belum diperoleh atau yang telah kembali kehilangan dirinya Tapi manusia bukanlah makhluk abstrak, terisolasi dari dunia Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat... Ini Agama Negara dan ini menghasilkan agama masyarakat, kesadaran terbalik dunia, hanya karena mereka adalah sebuah dunia terbalik. adalah teori umum dunia ini, lambang yang ensiklopedis, logika dalam bentuk popular, spiritualistik nya huruf d 'honneur, antusiasme, sanksi moralnya, penyelesaian kemeriahanya, alasan mendasar atas penghiburan dan pembenaran. Ini adalah realisasi fantastis dari esensi manusia, karena hakekat manusia tidak memiliki realitas sejati. Perjuangan melawan agama karena itu tidak langsung perjuangan terhadap bahwa dunia yang agama adalah aroma rohani "(Karl Marx, Per la critica della filosofia del diritto di Hegel, Introduzione, Roma 1966, hlm 57-58).

Sekali lagi dalam Pendahuluan sama kita membaca: "Kritik agama mengarah ke ajaran yang sesuai dengan manusia, karena manusia, Wujud Tertinggi, sehingga mencapai imperatif kategoris menggulingkan semua hubungan di mana manusia adalah, rusak diperbudak, ditinggalkan , makhluk hina.

Ada juga banyak bagian dalam karya-karya Marx yang mencela kebohongan gereja dan wakil-wakil mereka sebagai sekutu pemerintah, dari kelas istimewa, para empu, dan di mana ia mengungkapkan kesalahan mereka dan kehinaan mereka, memohon penindasan mereka. Tapi karya-karyanya secara keseluruhan menunjukkan bahwa untuk musuh Marx manusia tidak imam dan gereja, tetapi agama seperti itu. Ini. hanya agama pada intinya yang paling murni, dan tidak dalam penyimpangan wakil-wakilnya, yaitu hambatan utama bagi kemajuan manusia, untuk pembebasan manusia, untuk penaklukan-nya jatuh tempo.
Kristen yang ingin berdialog dengan Marx dan dengan murid-muridnya harus diingat titik pentingnya. Dan karena itu mereka tidak harus mendasarkan dialog pada metafisik (dialektika) materialisme atau materialisme sejarah, atau tentang sejarah Gereja (kekuasaan duniawi, perang salib, inkuisisi, kasus Galileo, dll) tetapi pada humanisme dan agama, dan pada humanistik nilai agama dan Kristen.

Umat ​​Katolik yang tidak tahu tentang alasan dari iman mereka tidak akan memiliki kesulitan dalam menemukan argumen yang valid untuk menunjukkan Marx dan para murid-Nya bahwa agama dan Kristen khususnya, jauh dari musuh manusia, adalah sebaliknya instrumen (sakramen-sakramen ) yang memberikan kepadanya kemungkinan memenuhi dirinya sepenuhnya, jauh melampaui tingkat tertinggi kebesaran alasan itu saja yang memungkinkan dirinya untuk mewakili.

Dalam Kristen, manusia, diangkat ke martabat Anak Allah, menjadi lebih besar dan tidak kecil, lebih bebas dan tidak lebih diperbudak, lebih mulia dan tidak lebih kecil, lebih tenang dan tidak lebih menderita. Orang Kristen, pada kenyataannya, adalah orang yang, mengetahui bahwa ia secara tak terbatas dicintai oleh Allah, tahu bahwa ia telah menjadi tak terbatas besar. Dan yang menyebabkan hatinya untuk meledak ke dalam lagu Fransiskan sukacita yang sempurna.

KESEHATAN SEBAGAI KOMODITI


Masihkah kesehatan menjadi hak setiap manusia? Kita sudah tahu, ini jaman kapitalisme, dimana segala sesuatu yang mendatangkan nilai guna akan diubah menjadi komoditi. Sekarang ini, kesehatan bukan lagi hak yang melekat pada manusia, melainkan sudah menjadi komoditi.

Kita sudah sering mendengar istilah “industri kesehatan”. Barang-barang yang menyangkut hidup manusia, termasuk obat-obat, diproduksi oleh swasta dan dilemparkan ke pasar untuk mencapai keuntungan (profit). Obat tidak lagi diproduksi untuk kepentingan kesehatan rakyat, melainkan untuk tujuan profit.

Kesehatan adalah sesuatu yang intrisik di dalam kehidupan manusia. Ia tidak berbeda dengan kebutuhan akan udara, air, dan bahan makanan. Akan tetapi, di bawah kapitalisme, kesehatan seolah-olah menjadi kebutuhan yang eksternal; kesehatan tidak ada bedanya dengan komoditi lain seperti mobil, motor, televisi, dan lain-lain.
Para pekerja kesehatan bukan lagi bala tentara kemanusiaan. Pengabdian mereka bukan lagi, seperti ditekankan oleh Tjipto Mangungkusumo, “untuk kemanusiaan”. Mereka mengabdi untuk logika keuntungan. Akhirnya, dalam banyak kejadian akhir-akhir ini, banyak pasien miskin menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit tanpa tersentuh tangan-tangan dokter atau paramedis.

Karena dituntun oleh logika profit, banyak tenaga dokter baru menolak ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Tidak ada lagi dokter seperti Tjipto Mangungkusumo yang rela bekerja tanpa pamrih berkeliling Pulau Jawa untuk memberantas penyakit pes yang mewabah di tengah-tengah rakyat.

Misi utama sebagian besar rumah sakit di Indonesia, termasuk RS yang menyandang nama Tjipto Mangkusumo dan Wahidin Sudirohusodo, adalah memaksimalkan keuntungan alias profit. Efiensi pun menjadi “mantra baru” dalam pengelolaan hampir semua rumah sakit. Motto pelayanannya pun menjadi: “Ada uang, ada pelayanan!”
Di level negara, layanan kesehatan juga dipandang privat. Artinya, negara tidak lagi bertanggung-jawab atas urusan kesehatan rakyat. Urusan diserahkan kepada masing-masing individu. Seberapa sehat masing-masing individu itu, nanti tergantung dari kemampuan mereka membiayai kesehatan masing-masing. Mungkin, inilah yang dimaksud “kebebasan dan kesetaraan” dalam kapitalisme liberal.

Logika kapitalisme tidak pernah cocok dengan filosofi kesehatan sebagai hak dasar setiap manusia. Kapitalisme hanya menjadikan kesehatan sebagai sarana untuk memaksimalkan keuntungan. Sedangkan kesehatan sebagai hak dasar setiap manusia mengisyaratkan adanya kesetaraan dan memproritaskan rakyat (kemanusiaan).
Sebetulnya, jika para penyelenggara negara kita konsisten berpegang kepada UUD 1945, maka layanan kesehatan sebetulnya tidak bisa diprivatisasi dan diserahkan kepada mekanisme pasar. Sebab, layanan kesehatan menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika mengacu pada UUD 1945, layanan kesehatan mestinya diselenggarakan oleh negara dan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Menutup editorial ini, kutipan pidato pemimpin revolusi Kuba, Fidel Castro, saat berpidato di Sidang Umum PBB tahun 1979, mungkin sangat berguna untuk kita renungkan:
Anda di sini sering berbicara hak azasi manusia, tetapi juga penting untuk membicarakan hak-hak kemanusiaan. Mengapa banyak orang berjalan tanpa alas kaki sedangkan orang lain dapat melakukan perjalanan dengan mobil mewah? Mengapa banyak orang yang hidup hanya 35 tahun sedangkan ada orang lain yang bisa hidup hingga 70-an tahun? Aku berbicara atas nama anak-anak dunia yang tidak punya sepotong roti. Saya berbicara atas nama orang-orang sakit yang tidak punya obat. Saya berbicara atas nama orang-orang yang dilarang punya hak hidup dan menjadi manusia bermartabat….apa gunanya peradaban? Apa gunanya nurani manusia? Apa gunanya PBB? Apa gunanya dunia? Anda tidak mungkin berbicara tentang perdamaian dunia di atas bangkai puluhan juta manusia yang meninggal karena kelaparan dan penyakit yang mestinya dapat disembuhkan”—Fidel Castro, 1979.

Jumat, 15 Juni 2012

REFLEKSI SEJARAH TRAGEDI 1965 UNTUK GENERASI 1990-an


Hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita bisa mengerti, tanpa bisa kita menawar
terimalah, dan hadapilah.”
(Mandalawangi-Pangrango, Soe Hok-Gie)

BENAR apa yang dikatakan Soe Hok-Gie. Masa depan yang akan kita hadapi sebagai bangsa akan sangat panjang. Kita memerlukan berton-ton keberanian, termasuk keberanian untuk mengikis beban masa lalu. Luka lama sejarah mesti kita terima dan hadapi, sembari bersama-sama mencari formula yang tepat demi membangun bangsa kelak di kemudian hari—inilah ikhtiar kita sebagai kaum muda bangsa.

Bagi generasi yang lahir di tahun 1990-an tidak mengetahui secara pasti kronologi Tragedi 1965. Di penghujung akhir masa kepemimpinan Orde Baru itu, pengetahuan di sekitar apa yang kebanyakan buku teks pelajaran sekolah sebut sebagai “Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI)” amat sangat minim. Setelah menempuh pendidikan yang lebih tinggi selanjutnya, kita sontak terperanjat, karena pelajaran yang kita dapatkan tentang tragedi di tahun 1965 itu diteriakkan banyak orang sebagai sebuah manipulasi sejarah. Kita, Generasi 1990-an, yang pada mulanya “damai-damai” saja dengan ilmu sejarah yang kita peroleh, mendadak menjadi terusik dan tertantang untuk mengkaji kembali segalanya dari awal. Sebagai generasi yang lugu kita bingung: persoalan di sekitar tahun 1965 itu nampak masih simpang-siur. Bahkan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarawan.

Namun, secara umum, pascakeruntuhan Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, muncul paradigma baru soal Gerakan 30 September. Rezim Orde Baru dengan berbagai macam cara telah berhasil meneror rakyat melalui tafsiran tunggal atas peristiwa tersebut. PKI dan segala jenis pahamnya seperti komunisme, marxisme, dan leninisme, juga organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya, dicap sebagai dalang satu-satunya yang melatarbelakangi tragedi tersebut.

Dampak lanjutan dari tafsiran tunggal ini amatlah luar-biasa. Pertama, terjadi pembantaian massal menyusul terbunuhnya para jenderal pada 30 September 1965. Semenjak pengambilalihan pemerintahan dari Presiden Soekarno dalam rangka mengembalikan stabilitas keamanan negara, Indonesia seakan-akan berada dalam genggaman tangan Soeharto—yang saat itu menjabat sebagai Kepala Komando Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad). Presiden Soekarno tidak bisa berbuat banyak lantaran (sebagian) rakyat menuduhnya turut terlibat dalam insiden yang menewaskan sepuluh orang jenderal itu.

Soeharto memainkan peran dengan sangat bagus, apalagi setelah dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Lewat surat perintah yang hingga kini masih belum diketahui keberadaan versi aslinya tersebut, Soeharto melakukan beragam cara untuk menciptakan stabilitas umum, antara lain dengan membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang, mencopot jabatan orang-orang di pemerintahan yang diduga memiliki hubungan dekat dengan PKI, dan menyatakan paham komunisme/marxisme-leninisme sebagai paham terlarang di Indonesia.

Aksi massa luar-biasa muncul setelah dikeluarkannya keputusan itu. Di berbagai daerah di Nusantara, terutama di Jawa dan Bali, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap kader-kader, simpatisan-simpatisan Partai Komunis Indonesia, serta orang-orang yang diduga terkait dengan PKI dan anak-organisasinya seperti Gerwani dan Lekra. Tak terhitung berjuta-juta nyawa anak bangsa yang menjadi tumbal kebiadaban tafsir-tunggal tersebut.

Kedua, setelah diangkat menjadi presiden oleh MPR/DPR—yang notabene berisi orang-orang yang dekat dengannya—Soeharto semakin leluasa mempergunakan slogan anti-PKI, antikomunis, dan antikomunisme sebagai tameng politiknya. Istilah PKI adalah bahaya laten yang merembes diam-diam yang harus selalu diwaspadai. Pada berbagai kesempatan, bahaya itu disampaikan dengan istilah dan ciri yang berbeda-beda. Cap “komunis” diberikan kepada kaum oposan atau orang yang tidak disukai penguasa dengan target utama mengingatkan kegelapan masa lampau, dan adalah hak bagi negara mengambil tindakan tegas sebelum terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.

Di sini memori publik dipupuk dan diawetkan.[2]

Hal ini benar-benar meneror kebebasan rakyat dan jelas bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. Rakyat terlambat menyadari, Gerakan 30 September telah “menciptakan” rezim otoritarian selama 32 tahun di depan.

***

Komunisme telah menjadi isu sensitif setelah Soeharto berkuasa. Pembantaian terhadap para komunis dilakukan sampai anak-cucunya, yang belum tentu mengetahui “hewan” seperti apa komunisme itu. Stigmatisasi Orde Baru membawa rasa trauma berkepanjangan yang melanda para korban Tragedi 1965.

Sudah dua belas tahun sejak Orde Baru runtuh digantikan Era Reformasi yang membawa keterbukaan dan demokratisasi. Semestinya, tafsir-tunggal atas Tragedi 1965 segera diakhiri kemudian dicari kenyataan sejarah yang sebenar-benarnya.

Namun, rupanya dukungan pemerintah ke arah itu belum terlihat secara nyata. Dalam bidang keilmuan (sejarah), contohnya. Penyebutan G30S selalu saja dihubung-hubungkan dengan PKI. Padahal kita tahu, ada beragam versi mengenai dalang peristiwa G30S. Lebih memprihatinkan lagi bila kita menyaksikan, betapa tafsir-tunggal warisan Orde Baru itu belum betul-betul coba dikaji ulang. Yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah hendak melestarikan tafsir-tunggal. Bayangkan, pada 2007, Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia membakar puluhan ribu buku pelajaran Sejarah untuk SMP dan SMA karena menghilangkan kata “PKI” dari “G30S”.[3]

Pemerintah mestinya mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh ormas di bawah naungan Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Ansor. Ansor, sebagai pihak yang berperan cukup signifikan dalam pembantaian para anggota PKI, meminta maaf secara terbuka kepada para korban langsung maupun tak langsung tragedi berdarah tersebut. Simpati Ansor tersebut diharapkan akan membantu proses rekonsiliasi.

Komunisme sebagai ideologi terlarang seyogianya dikaji ulang keabsahannya. Pelarangan terhadap komunisme sama saja pelarangan terhadap kebebasan berpikir sebagaimana diatur dalam pasal 28I UUD 1945. Sampai kapan Indonesia akan mampu bersikap dewasa? Bukankah agama lebih dari cukup untuk menjadi pelita bagi bangsa kita yang terkenal religius?

Maka sangat relevan kiranya wacana pencabutan Tap MPRS/XXV/1966 tentang Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang pernah dilontarkan Presiden Abdurrahman Wahid digaungkan kembali. Menurut Gus Dur, larangan terhadap paham komunisme merupakan sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara hukum. Pikiran boleh saja disebarkan, tinggal masyarakat sendiri yang melakukan upaya untuk melawan pikiran itu.