Selasa, 12 Juni 2012

ROMANTISME PARA USTADZ DENGAN MEDIA KAPITALIS GUNA MEMPERDAGANGKAN AGAMA


Tulisan ini semata-mata berdasarkan luapan emosi dan ledakan kesangsian atas orang-orang yang seringkali menjadikan agama sebagai salah satu instrumen yang berorientasi pada kepentingan pragmatis.

DEWASA INI, TAMPAK BAHWA AGAMA TELAH MENJADI KOMODITAS YANG MENGGIURKAN UNTUK DIKOMERSIALISASIKAN. Mulai dari label halal pada produk makanan dan minuman, partai politik yang menjual bait-bait suci Tuhan demi mendapatkan posisi di parlemen, para artis yang berbondong-bondong berpakaian islami dan membuat lagu-lagu rohani pada saat ramadhan, hal ini dilakukan agar tetap eksis di panggung hiburan. Artis yang biasanya berpakaian seksi dan seronok, kontan berubah menjadi mukminin/mukminat meski hanya pada bulan itu, sampai dengan iklan-iklan yang berbalut nuansa islami. Ini adalah cara membiaskan fenomena tabu menjadi layak untuk diperbincangkan. Selain itu, disini para ustadzpun panen besar, di samping mengisi acara televise sepanjang hari, mereka juga menjadi bintang iklan berbagai produk.
USTADZ TELAH MASUK DALAM PUSARAN DESAIN POLITIK INDUSTRI MEDIA YANG TELAH TERKOPTASI OLEH KEKUATAN GLOBAL YANG DIKUASAI KAUM KAPITALIS. Contoh, Apa kepentingan seorang Hillary Clinton sampai-sampai datang ke acara Dahsyat yang ditayangkan di RCTI? Bisnis media di Indonesia tidak bisa dipungkiri juga sudah mulai masuk pebisnis kapitalis luar negeri, ANTV yang dibeli grup Bakrie 20 porsen sahamnya adalah milik Star TV Hongkong, yakni milik raja media Rupert Murdoch, sang milyarder Australia.
Semboyan besar pekerja media adalah, “siapa yang menguasai media akan menguasai dunia”, mereka mempertentangkan fakta, menciptakan isu, memanipulasi berita, menciptakan kesan dengan mempengaruhi psikologi masyarakat dengan tekik propaganda, “They do not tell people what to think, but what to think about”.
Jadi, menjadi seorang ustadz adalah profesi yang luar biasa menggiurkan untuk menambah pundi kekayaan dan popularitas. Menjadi ustadz bukanlah lagi panggilan rohani atas dasar perintah Tuhan, tetapi lebih pada unsur lain. Tidak dapat dipungkiri ustadzpun butuh duit, namun lihatlah para ustadz kampungan yang berceramah pada setiap acara pernikahan, sunatan, atau hari-hari besar keagamaan, mereka hanya mendapat amplop seadanya, bisa jadi pengganti ongkos pulang, atau hanya diberikan jajanan hajatan yang lebih banyak dari undangan, juga tidak jarang yang hanya dibayar dengan ucapan “terimakasih” saja. Esoknya ia harus bekerja membanting tulang, menjadi buruh, petani, nelayan, atau pengurus masjid yang tidak pernah sedikitpun mendapatkan perhatian pemerintah.
MENYEBARKAN AGAMA TAMPAKNYA MENJADI LAHAN MENCARI KEKAYAAN. Apakah benar tidak ada ustadz yang gratis? Benarkah ustadz selalu komersial? Ini menjadi stigma negatif, para ustadz masuk dalam acara-acara reality show yang jelas meniru cara televisi kapitalis memainkan propaganda. Dalam acara reality show tersebut, dengan bangga para ustadz dibongkar gaya hidup hingga gaya yang menjadi cirri khasnya dalam menyampaikan dakwah, bukankah ini menjadi pergeseran makna? Bukannya pesan rohani yang yang hendak ditampakkan, melainkan gaya khas seperti yang disebutkan diatas.
Media massa menentukan apa yang kita ketahui di dunia politik dan pemerintahan secara lokal maupun global. Dia mengontrol apa yang kita ketahui tentang seni, ilmu pengetahuan, agama, bisnis, keuangan, lingkup jangkauan mereka, dan tidak ada habisnya. Media sebenarya dikendalikan oleh kelompok milyarder yang memiliki kepentingan secara ekonomi dan politik. Mereka berusaha untuk mengontrol masyarakat untuk mempertahankan dan menambah luas kekuasaannya. Hal ini dilakukan dengan beberapa cara, termasuk mengontrol media. Media adalah sumber utama informasi tentang dunia dan mempengaruhi cara pandang orang dalam memahami siapa “mereka”, peristiwa apa yang penting, dan bagaimana sumber masyarakat yang harus dibagi.
Memang pada massa awal dakwah di tanah Jawa, para wali memiliki cara masing-masing dalam menyebarkan dan memberikan pesan rohani, misalnya lewat wayang. Tetapi apakah harus kita benarkan ustadz menjadi artis? Sungguh naïf, karena segala budaya keasyikan dunia ada disana, glamour, dan selalu menjadi buah bibir orang. Kita sudah tahu, zaman sudah dibuat edan, tetapi apakah harus mengikuti dan terbawa arus, karena ustadz juga merupakan simbol agama.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa media telah mampu mengubah gaya hidup, mampu mengubah segala sudut-sudut kehidupan mulai dari yang tidak patut ditampakkan menjadi biasa saja. Sesuatu yang menjadi kontroversi menjadi serasi, hal yang fenomenal menjadi menjadi nominal, bahkan dari tidak ada sekalipun sengaja dibuat ada. Kita dalam kondisi terjajah, orang-orang yang bertanggungjawab di negeri ini, menggunakan terlalu banyak waktu yang diperdebatkan untuk hal-hal yang terkecil sekalipun, karena terbuai media.
KITAMEMANG KAGET DENGAN SEGALA KEBEBASAN YANG TERKEKANG SELAMA MASA ORDE BARU. MANA KEPENTINGAN KAPITALIS? KEPENTINGAN KOMERSIAL? MANA KEPENTINGAN AGAMA? TIDAK ADA BINGKAI PEMBATAS YANG JELAS. BENTENG UTAMA SEPERTI USTADZPUN TERKOPTASI DESAIN BUSUK PELAKU MEDIA KAPITALIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar