Tulisan ini semata-mata berdasarkan luapan emosi dan ledakan kesangsian atas orang-orang yang seringkali menjadikan agama sebagai salah satu instrumen yang berorientasi pada kepentingan pragmatis.
DEWASA INI, TAMPAK
BAHWA AGAMA TELAH MENJADI KOMODITAS YANG MENGGIURKAN UNTUK DIKOMERSIALISASIKAN.
Mulai dari label halal pada produk makanan dan minuman, partai politik yang
menjual bait-bait suci Tuhan demi mendapatkan posisi di parlemen, para artis
yang berbondong-bondong berpakaian islami dan membuat lagu-lagu rohani pada
saat ramadhan, hal ini dilakukan agar tetap eksis di panggung hiburan. Artis
yang biasanya berpakaian seksi dan seronok, kontan berubah menjadi
mukminin/mukminat meski hanya pada bulan itu, sampai dengan iklan-iklan yang
berbalut nuansa islami. Ini adalah cara membiaskan fenomena tabu menjadi layak
untuk diperbincangkan. Selain itu, disini para ustadzpun panen besar, di
samping mengisi acara televise sepanjang hari, mereka juga menjadi bintang
iklan berbagai produk.
USTADZ TELAH
MASUK DALAM PUSARAN DESAIN POLITIK INDUSTRI MEDIA YANG TELAH TERKOPTASI OLEH
KEKUATAN GLOBAL YANG DIKUASAI KAUM KAPITALIS. Contoh, Apa kepentingan seorang
Hillary Clinton sampai-sampai datang ke acara Dahsyat yang ditayangkan di RCTI?
Bisnis media di Indonesia tidak bisa dipungkiri juga sudah mulai masuk pebisnis
kapitalis luar negeri, ANTV yang dibeli grup Bakrie 20 porsen sahamnya adalah
milik Star TV Hongkong, yakni milik raja media Rupert Murdoch, sang milyarder
Australia.
Semboyan besar
pekerja media adalah, “siapa yang menguasai media akan menguasai dunia”, mereka
mempertentangkan fakta, menciptakan isu, memanipulasi berita, menciptakan kesan
dengan mempengaruhi psikologi masyarakat dengan tekik propaganda, “They do not
tell people what to think, but what to think about”.
Jadi, menjadi
seorang ustadz adalah profesi yang luar biasa menggiurkan untuk menambah pundi
kekayaan dan popularitas. Menjadi ustadz bukanlah lagi panggilan rohani atas
dasar perintah Tuhan, tetapi lebih pada unsur lain. Tidak dapat dipungkiri
ustadzpun butuh duit, namun lihatlah para ustadz kampungan yang berceramah pada
setiap acara pernikahan, sunatan, atau hari-hari besar keagamaan, mereka hanya
mendapat amplop seadanya, bisa jadi pengganti ongkos pulang, atau hanya
diberikan jajanan hajatan yang lebih banyak dari undangan, juga tidak jarang
yang hanya dibayar dengan ucapan “terimakasih” saja. Esoknya ia harus bekerja
membanting tulang, menjadi buruh, petani, nelayan, atau pengurus masjid yang
tidak pernah sedikitpun mendapatkan perhatian pemerintah.
MENYEBARKAN
AGAMA TAMPAKNYA MENJADI LAHAN MENCARI KEKAYAAN. Apakah benar tidak ada ustadz
yang gratis? Benarkah ustadz selalu komersial? Ini menjadi stigma negatif, para
ustadz masuk dalam acara-acara reality show yang jelas meniru cara televisi
kapitalis memainkan propaganda. Dalam acara reality show tersebut, dengan
bangga para ustadz dibongkar gaya hidup hingga gaya yang menjadi cirri khasnya
dalam menyampaikan dakwah, bukankah ini menjadi pergeseran makna? Bukannya
pesan rohani yang yang hendak ditampakkan, melainkan gaya khas seperti yang
disebutkan diatas.
Media massa
menentukan apa yang kita ketahui di dunia politik dan pemerintahan secara lokal
maupun global. Dia mengontrol apa yang kita ketahui tentang seni, ilmu
pengetahuan, agama, bisnis, keuangan, lingkup jangkauan mereka, dan tidak ada
habisnya. Media sebenarya dikendalikan oleh kelompok milyarder yang memiliki
kepentingan secara ekonomi dan politik. Mereka berusaha untuk mengontrol
masyarakat untuk mempertahankan dan menambah luas kekuasaannya. Hal ini
dilakukan dengan beberapa cara, termasuk mengontrol media. Media adalah sumber
utama informasi tentang dunia dan mempengaruhi cara pandang orang dalam
memahami siapa “mereka”, peristiwa apa yang penting, dan bagaimana sumber
masyarakat yang harus dibagi.
Memang pada
massa awal dakwah di tanah Jawa, para wali memiliki cara masing-masing dalam
menyebarkan dan memberikan pesan rohani, misalnya lewat wayang. Tetapi apakah
harus kita benarkan ustadz menjadi artis? Sungguh naïf, karena segala budaya
keasyikan dunia ada disana, glamour, dan selalu menjadi buah bibir orang. Kita
sudah tahu, zaman sudah dibuat edan, tetapi apakah harus mengikuti dan terbawa
arus, karena ustadz juga merupakan simbol agama.
Tidak dapat
dipungkiri, bahwa media telah mampu mengubah gaya hidup, mampu mengubah segala
sudut-sudut kehidupan mulai dari yang tidak patut ditampakkan menjadi biasa
saja. Sesuatu yang menjadi kontroversi menjadi serasi, hal yang fenomenal
menjadi menjadi nominal, bahkan dari tidak ada sekalipun sengaja dibuat ada.
Kita dalam kondisi terjajah, orang-orang yang bertanggungjawab di negeri ini,
menggunakan terlalu banyak waktu yang diperdebatkan untuk hal-hal yang terkecil
sekalipun, karena terbuai media.
KITAMEMANG KAGET
DENGAN SEGALA KEBEBASAN YANG TERKEKANG SELAMA MASA ORDE BARU. MANA KEPENTINGAN
KAPITALIS? KEPENTINGAN KOMERSIAL? MANA KEPENTINGAN AGAMA? TIDAK ADA BINGKAI
PEMBATAS YANG JELAS. BENTENG UTAMA SEPERTI USTADZPUN TERKOPTASI DESAIN BUSUK
PELAKU MEDIA KAPITALIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar