Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei
sampai 1 Juni 1945, dengan acara tunggal menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr.
KRT Radjiman Wedyodiningrat, “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti,
dasarnya apa?” Hampir separuh anggota badan tersebut menyampaikan
pandangan-pandangan dan pendapatnya. Namun belum ada satu pun yang memenuhi
syarat suatu sistem filsafat dasar untuk di atasnya dibangun Indonesia Merdeka.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk
menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang
dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih
dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai.
Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan
menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu.
Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Mr. AA
Maramis, Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo
dan Muhammad Yamin) yang bertugas “merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar
Negara berdasar pidato yang diucapkn Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan
menjadikan dokumen tiu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia.”
Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya
Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan
dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai
dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 (Diambil dari
Pancasila Bung Karno, Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005).
Inilah pidato yang bersejarah itu… ***
Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan di dalam
pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka
Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan
saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah – dalam bahasa
Belanda – Philosofische grondslag (dasar filosofi-Ed.) dari Indonesia Merdeka.
Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan
gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya
kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia. Tetapi lebih dahulu izinkanlah saya
membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-Tuan sekalian, apakah yang saya
artikan dengan perkataan “merdeka”.
“Merdeka” buat saya adalah political independence, politieke
onafhankelijkheid (kemerdekaan politik, dalam bahasa Inggris dan Belanda-Ed.).
Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati
saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di dalam
bahasa asing, maafkan perkataan ini – zwaarwichtig (seolah-olah amat berat,
dalam bahasa Belanda-Ed.) akan perkara-perkara kecil. Zwaarwichtig sampai –
kata orang Jawa – jelimet (dengan teliti, rinci dan lengkap, dalam bahasa
Jawa-Ed.). Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet,
barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia,
lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah
kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah
derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia
merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka,
Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi
bandingkanlah isinya!
Alangkah bedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum negara
merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai
jelimet, maka say bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia
merdeka, padahal 80 persen dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali
tidak mengerti akan hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di
situ ternyata, bahwa tatkalah Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia,
rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum
bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang
Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula – jikalau Tuan-tuan kehendaki contoh yang
lebih hebat – Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah
rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adal rakyat
Musyik (golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut suatu
agama-Ed.) yang lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan menulis; bahkan
dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, Tuan-tuan
mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan
negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia
Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo (Kepala Kantor Tata Usaha untuk
Lembaga Tinggi, dalam bahasa Jepang, yang berada di bawah pemerintah militer
Jepang untuk mengurus persiapan sidang-sidang BPUPKI-Ed.)! Berdirilah saya
punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya
dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuany! Kalau benar semua
hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan
mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita
semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka… sampai di lubang kubur!
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun
1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia
Merdeka. Maka di dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa
kemerdekaan, politieke onafhkelijkheid, political independence, tak lain dan
tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab
itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya
masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam – in one
night only – kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia
Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyadh dengan 6 orang! Sesudah
“jembatan” itu diletakkan Ibn Saud, maka di seberang jembatan – artinya
kemudian dari pada itu – Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia.
Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya
bergelandangan sebagai nomade (suku yang berpindah-pindah tempat, atau
pengembara, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh
Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade
dirubah lagi oleh Ibn Saud menjadi kaum tani – semuanya di seberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka
telah mempunyai Dneprprostoff, dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia
telah mempunyiai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia tel mempunyai
kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap
orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat
membaca dan menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas
yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru
mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche (tempat penitipan bayi dan
anak-anak pada waktu orangtua bekerja-Ed.), baru mengadakan Dneprprostoff! Maka
oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-tuan
gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus
selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka.
Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat – jikalau Tuan-tuan demikian –
dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun ini
menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasra Indonesia
Merdeka sekarang!
(Tepuk tangan-riuh)
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui
sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semoboyan Indonesia
Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita
telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan
nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan
3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan-riuh)
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia
Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati! Saudara-saudara, saya
peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke
onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan
gentar!
Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan
oleh Dai Nippon (Kekaisaran Jepang Raya-Ed.) untuk merdeka, maka dengan mudah
Gunseik-kan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang-Ed.) diganti
dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo (Kepala Departemen
Urusan Umum-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau
umpamanya Butyoo-Butyoo (Kepala Departemen-Ed.) diganti dengan orang-orang
Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political
independence, politieke onafhankelijkheid – in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milsiyun, semuanya
bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai
Nippon, sekarang menyerahkan urusan negara kepada Saudara-saudara, apakah
Saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin – tunggu dulu –
minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara
Indonesia Merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini
Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit
pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang
pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara
Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain, tentang isinya.
Tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan
negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat
Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan
negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis (tuntutan minimum, dalam bahasa
Belanda-Ed.). Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi
manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya
sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk
kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing,
Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita
Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk
Merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan
manusia. Manusia pun demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya
bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada
yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu
gaji 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani,
sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul
(memantul, dalam bahasa Jawa-Ed.), sudah mempunyai meja-kursi yang
selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah
mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet (pakaian untuk
anak-anak, dalam bahasa Belanda-Ed.), barulah saya berani kawin. Ada orang lain
yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu,
kursi empat – yaitu meja mkan, lantas satu zitje (tempat duduk untuk bersantai,
dalam bahasa Belanda-Ed.) – lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudara-saudara
Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengans satu tikar, dengan satu
periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk
(jurutulis, dalam bahasa Belanda-Ed.) dengan satu meja, empat kursi, satu
zitje, satu tempat tidur: Kawin.
Sang Ndoro (atau Bandoro, berarti majikan atau tuan, dalam
bahasa Jawa-Ed.) yang mempunyai rumah gedung, electrische-kookplaat (alat masak
listrik, dalam bahasa Belanda-Ed.), tempat tidur, uang bertimbun-timbun: Kawin.
Belum tentu mana yang lebih gelukkig (berbahagia, dalam bahasa Belanda-Ed.),
belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang
mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu
periuk, Saudara-saudara!
(Tepuk tangan dan tertawa)
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu
tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah
mempunyai gerozilver (peralatan makan dari perak, dalam bahasa Belanda-Ed.)
satu kaset plus kinder-uitzet – buat 3 tahun lamanya!
(Tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: Kita ini berani
merdeka atau tidak? Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang
mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan
hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian
Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang
dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya
telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara saudara, jika tiap-tiap orang
Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum
kita dapat mencapai political independence… saya ulangi lagi, sampai lebur
kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka!
(Tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita!
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di
dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu.
Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu
per satu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata,
kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak
disentri, banyak penyakit hongerudeem (penyakit busung lapar, dalam bahasa
Belanda-Ed.), banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian
merdeka.”
Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20
tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita
menyatukan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita
kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan
menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita
agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat
sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang
jembatan – jembatan emas – inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat
Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha
penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh
berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht – hukum
internasional – menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan,
mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko
(macam-macam, dalam bahasa Jawa-Ed.), yang jelimet. Tidak! Syaratnya sekedar
bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht.
Cukup, Saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya,
kemudian diakui oleh salah satu negara lain yang merdeka, itulah yang sudah
bernama: Merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli
rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal
menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu
ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan
lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka
apa tidak? Mau merdeka apa tidak?
(Jawab hadirin: Mau!) Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan
tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal “dasar”.
Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka
Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische
grondslag, atau – jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk –
Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu Weltanschauung (pandangan hidup,
dalam bahasa Jerman-Ed.), di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang
merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas
suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national
sozialistische Weltanschauung – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi
dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan
negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische,
Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon
di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tenno Koodoo Seishin. Di atas
Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn
Saud, mendirikan negara Arabia di atas suatu Weltanschauung – bahkan di atas
satu dasar agama – yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Ketua
yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita
bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia
Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk
mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan
Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar
perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak
sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut
keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed,
“Sovyet-Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin cs.” – Reed di dalam kitabnya
Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia… walaupun
Lenin mendirikan Rusia dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia
berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauung-nya, dan di
dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru
itu di atas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah
disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”,
di-generale-repetitie-kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang
dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917.
Sudah lama sebelum tahun 1917, Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan
diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudan, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John
Reed… hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan,
ditaruh kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun
umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan,
mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya
Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan
1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme
ini – Weltanschauung ini – dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch,
tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut
kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang
telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia
Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita,
untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah
nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I,
sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok
merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885 – kalau saya tidak
salah – dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The Three People’s Principles,
San Min Chu I – Mintsu, Minchuan, Min Sheng: Nasionalisme, demokrasi,
sosialisme – telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi
baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San
Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas
Weltanschauung apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah? San Min Chu I-kah,
atau Weltanschauung apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari
lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan – macam-macam – tetapi alangkah
benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadi-Koesoemo, bahwa kita
harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama
mencarai persatuan philosofische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang
kita semua setuju. Saya katakan lagi “setuju”! Yang Saudara yamin setujui, yang
Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang
Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita
semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita
bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak
mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi
sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada
satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik
Saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun
Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan
negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan
suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan
saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan
saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini,
akan tetapi sejak tahun 1918… ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar
buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan.
Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia.
Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara
Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang
Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara
salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar
kebangsaan. Itu bukan berarti kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya
menghendaki satu nationale staat (negara nasional, dalam bahasa Belanda-Ed.),
seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang
lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai
Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa
Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek moyang Tuan pun bangsa
Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh
Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu,
meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah
menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo
sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan (Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis-Ed.),
syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri
bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: le desir d’etre
ensemble, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang
menjadi bangsa, yaitu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya
bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain – yaitu definisi Otto Bauer
(pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria-Ed.) – di dalam bukunya,
Die Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: Was ist eine Nation? Dan
dijawabnya ialah: Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft (bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena
persatuan nasib-Ed.). Inilah menurut Otto Bauer satu natie.
Tetapi kemarin pun, tatkala – kalau tidak salah – Prof. Soepomo
mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr.Yamin berkata: Verouderd!
Sudah tua! Memang Tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd,
sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan
mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu,
tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan
geo-politik.
Kemarin – kalau tidak salah – Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo,
atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “persatuan antara orang dan tempat”.
Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia
dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan
rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya
sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft-nya (persamaan
atau persatuannya, dalam bahasa Jerman-Ed.) dan perasaan orangnya, l’ame et le
desir (jiwa dan kehendaknya, dalam bahasa Perancis-Ed.) Mereka hanya mengingat
karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami
manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu
adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia.
Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana
“kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun – jikalau ia melihat peta
dunia – ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.
Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara
2 lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua,
yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa
pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil,
Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan
pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau
Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau
penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu
kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung
Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris
adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan
pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan
Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia
plus daeraha Yunani yang lain-lain – segenap kepulauan Yunani – adalah satu
kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air
kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang
bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes
saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk
oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah
tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat –
antara rakyat dan buminya – maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan Ernest
Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d’etre ensemble, tidak cukup
definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft
itu.
Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di
antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble adalah rakyat
Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun.Rakyat ini merasa dirinya satu
keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian
kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre
ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di
Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi
Sunda pun haya satu bagian kecil dari satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia – Natie Indonesia – bukanlah
sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d’etre ensemble
di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau
Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang
menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di
kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke
Irian! Seluruhnya! Karena antara 70.000.000 ini sudah ada le desir d’etre
ensemble, sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa
Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000
yang telah menjadi satu, satu,sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat)
Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale
Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian.
Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik
Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita
harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka
adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen
(kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony-Ed.)
adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermania-lah satu nationale staat. Bukan
bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah –
yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh
pengunungan Alpen – adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan
Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi
nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang
merdeka di jaman dahulu adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami
nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Di luar itu kita
tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita
punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan
Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram – meskipun merdeka – bukan nationale
staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata
bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu
Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten – meskipun
merdeka – bukan suatu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin
di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah
Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri
di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan
bersama-sama. Karena itu, jikalau Tua-tuan terima baik, marilah kita mengambil
dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Sumatera,
bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan
Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di
dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo
(Wakil Ketua, maksudnya Soeroso-Ed.), Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan
kebangsaan.”
(Liem Koen Hian menanggapi: “Bukan begitu. Ada sambungannya
lagi.”)
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid – perikemanusiaan!
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid – perikemanusiaan!
Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat
Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur
16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh
seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya.
Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan
sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun.” Itu terjadi pada tahun
’17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan
saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three
People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme
yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu, tertanamlah rasa
kebangsaan oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh
karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai
penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan
perasaan hormat, sehormat-hormatnya, merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat
Sen – sampai masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara! Tetapi… tetapi… memang prinsip kebangsaan ini
ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme
menjadi chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan, ekstrem-Ed.), sehingga
berpaham “Indonesia uber Alles (Indonesia di atas semua bangsa-Ed.).” Inilah
bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu, mempunyai bahasa
yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari
dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi
kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity.”
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri,
bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan
Deutschland uber Alles. Tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya
bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru – bangsa Arya – yang
dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya.
Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-Tuan. Jangan berkata, bahwa
bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain.
Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus
mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada
kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip yang kedua. Inilah philosofische princiep
yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme.
Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud
kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada
Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada
Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau
tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup
subur, kalau tidak hidup di dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua
hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2 – yang pertama-tama
saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian – adalah bergandengan erat satu sama
lain. Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar
perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk
satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya.
Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat
satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia
ialah permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang
terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam – maaf
beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna – tetapi kalau
Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan
akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini,
ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat,
kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan
pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang
belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan
tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin
rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat
Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang
terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan,
diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang
bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup
berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin
menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin
utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan
rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya,
agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang
Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari
badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi,
barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa
rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah orang
Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau
demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan hanya
Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90 persen daripada kita
beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang
memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi
saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di
dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara
sekalian – baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam – setujuilah
prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak
ada satu staat yang hidup betul, betul hidup, jikalau di dalam badan
perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candaradimuka, kalau
tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di
dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3,
prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat
Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya.
Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter (huruf, dalam bahasa
Inggris-Ed.) di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil,
bekerjalah mati-matian, agar supaya, sebagian besar dari utusan-utusan yang masukn
badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play! (permainan
yang jujur, dalam bahasa Inggris-Ed.). Tidak ada negara boleh dikatakan negara
hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada
perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah
subhanahu wa ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan
sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah,
supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang
sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinspi
permusyawaratan!
Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini
belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan
ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: Prinsipnya San
Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: Nationalism, Democracy,
Sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang
kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua
orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku
oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita
pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan
Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita
sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah
parlementaire demoratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis
merajalela?
Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di
Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum
kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan
sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan yang diadakan di sana itu,
sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie (Revolusi Perancis, dalam bahasa
Belanda-Ed.). Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu
hanyalah politieke demoratie saja; semata-mata tidak ada sociale
rechtvaardigheid – tidak ada keadilan sosial, tak ada economische democratie
sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin
Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan politieke demoratie. “Di dalam
parlementaire demoratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak
sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang
boleh masuk dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh
yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister
(menteri, dalam bahasa Belanda dan Inggris-Ed.). Ia seperti raja. Tetapi
di dalam dia punya tempat bekerja – di dalam pabrik – sekarang ia menjatuhkan
minister, besok dia dapat dilempar ke luar jalan raya, dibikin werloos
(menganggur, dalam bahasa Belanda-Ed.), tidak dapat makan suatu apa.”
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan
demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni
politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!
Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan
Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale
rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya
kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada
keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita
memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita
terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan
politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan
bada permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama
dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan
sociale rechtvaardigheid (keadilan politik dan keadilan sosial, dalam bahasa
Belanda-Ed.). Kita akan bicrakan hal ini bersama-sama, Saudara-Saudara, di
dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan,
segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak
akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki vooronderstelt
erfe-lijkheid (pewarisan yang sudah diketahui terlebih dahulu, dalam bahasa
Belanda-Ed.). Turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang
Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara
pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik
kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita
mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes
Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal
dunia, janganlah anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya – dengan otomatis –
menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu, saya tidak mufakat
kepada prinsip monarki itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4
prinsip:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme atau perikemanusiaan
- Mufakat atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara
kebudayaan, yakni tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia
satu Negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam,
maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang
berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin)
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid (sifat dapat memahami pendapat yang lain, dalam bahasa
Belanda-Ed.), tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah
menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang
kita susun ini – sesuai dengan itu – menyatakan: Bahwa prinsip kelima dari
Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi
pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku
akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia
Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah,
Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan
mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah prinsip ketiga – permufakatan, perwakilan – di situlah
tempatnya ktai mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak
onverdraagzaam (tidak sabar, memaksa, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu dengan
cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan Lima
bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini.
Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang
kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita
lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: “Pendawa Lima.”)
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip –
kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan – lima pula
bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman ahli bahasa — namanya ialah Pancasila. Sila
artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan
Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh)
Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan
bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara
tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah
saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita.
Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme – kebangsaan dan
perikemanusiaan – saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan Sosio-nasionalisme
.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi
politiek-economische demoratie – yaitu politieke demoratie dengan sociale
rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan – saya peraskan pula menjadi
satu: inilah yang dulu saya namakan Sosio-demokrasi. Tinggal lagi
Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara
Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat
Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia,
tetapi Indoesia buat Indoesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yang
lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”.
Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis
dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu
pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu
gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan
semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)
Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya,
antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan
peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya
usulkan kepada Saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi
Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila,
Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara
semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini,
adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah
menggelora dengan prinsip-prinsip itu.
Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan,
Saudarna-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara
Indonesia. Di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur
alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa kita mendirikan negara
Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam
peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia
yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan
Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan
negara Indonesia yang lambat-laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap
syukur kepada Allah SWT.
Berhubungan dengan itu – sebagai yang diusulkan oleh beberapa
pembicara-pembicara tadi – barangkali perlu diadakan noodmaat-regel (aturan
darurat, dalam bahasa Belanda-Ed.), peraturan yang bersifat sementara. Tetapi
dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya,
haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus
Weltanschauung kita.
Entah Saudara-saudara memufakatinya atau tidak, tetapi saya
berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu.
Untuk membangun nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk
kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan;
untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang
berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi,
Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara. Tetapi
saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung
dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak
ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan – menjadi realiteit – jika
tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun
yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
De Mensch – manusia – harus perjuangkan itu. Zonder (tanpa, dalam bahasa
Belanda-Ed.) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak
bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I
tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa,
Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: Zonder
perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama,
yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah
Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (hitam di atas putih,
dalam bahasa Belanda-Ed.), tertulis di atas kertas, tidak dapat menjelma
menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu
pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang
termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila
yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup
menjadi satu bansa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai
anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di
atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale
rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang
luas dan sempurna – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah
perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka
itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam
Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya
dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai
bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita
cita-citakan di dalam Pancasila.
Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah,
tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat
datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko – tidak berani
terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau
bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka,
tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat
selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan
dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad: Merdeka!
“Merdeka atau mati!”
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan
Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang
lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf,
karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya
anggap verschrikkelijk zwaarwichtig (seolah-olah sangat berat, dalam bahasa
Belanda-Ed.) itu.
Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh-rendah dari segenap hadirin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar