Dialektika dan dinamika sistem ekonomi dunia, pada
tingkat ketegangannya yang paling tinggi, adalah terjadi antara aliran
libralis-kapitalis versus sosialis-komunis. Maenstream dua sistem
perekonomian tersebut, pada umumnya merujuk pada dua tokoh besar yakni Adam
Smith sebagai representasi dari aliran pertama, dan Karl Marx sebagai
representasi dari yang kedua.
Kedua sistem ekonomi tersebut telah menancapkan sebuah
fakta dalam proses sejarah manusia dan sekarang mengental menjadi “rezim”
peradaban. Seluruh wacana, diskursus dan perspektif ilmu pengetahuan, terutama
dalam bidang ekonomi politik, selalu melibatkan atau bahkan merujuk pada dua
aliran di atas. Sehingga dunia seolah hanya disodori oleh dua tawaran:liberalis
atau sosialis, komunis atau kapitalis, kanan atau kiri dan seterusnya.
Khusus dalam dunia ekonomi, arus utama dari sistem
nilai atau paradigma yang mendominiasi sebagai dasar operasional berjalanya
aktifitas ekonomi global adalah dua aliran tersebut. Sistem ekonomi dengan
segala macam derivasi, modifikasi dan cabang-cabangnya adalah fenomena sosial
yang berada dalam koridor liberalisme vis a vissosialisme. Bahkan meskipun
sekarang, khususnya di Indonesia, sedang berkembang sistem ekonomi Islam atau ekonomi
Syari’ah, namun ketika diselidiki lebih mendalam, ternyata di dalamnya juga
sangat kapitalis. Bahkan bank Syari’ah yang selama ini sedang menggejala
ditengarai lebih kapitalis daripada bank konvensional. Dengan melihat sistem
operasional bank Syari’ah tersebut, istilah Islam sebagai jalan alternatif dari
kapitalisme dan sosialisme, yang sering dilontarkan oleh aktifis-aktifis Islam
kanan, hanya sebatas jargon. Dalam realitas empiriknya, sistem ini tetap
merupakan modifikasi dari sistem kapitalis. Hanya saja pola managemennya lebih
dilabeli dengan istilah Islam atau Syari’ah.
Sepanjang sejarahnya, kedua sistem ekonomi di atas,
masing-masing berusaha untuk mendominasi dunia. Baik liberalisme maupun
komunisme oleh para pengagumnya dipercayai sebagai “mantera” atau “agama” yang
paling tepat untuk membangun dunia. Kedua aliran tersebut mempunyai landasan
etis yang di dalamnya masing-masing menawarkan mimpi-mimpi kesejahteraan dan
kemakmuran. Hanya saja tipe dan dasar operasionalnya berbeda.
Bagi liberalisme, untuk menciptakan kemakmuran, maka
sebagai prasyaratnya harus diciptakan ruang kebebasan bagi para indifidu untuk
menentukan dan mengejar kepentingan ekonomi. Pola semacam ini mengandaikan
adanya sistem kompetensi yang tinggi. Sehingga konsekuensinya, bagi mereka yang
kuat yang berhak memenangkan pertarungan. Sementara bagi mereka yang lemah,
harus bersedia menyingkir dari percaturan ekonomi-politik dunia.
Pertarungan ternyata, sekarang dimenangkan oleh kubu
liberal-kapitalis. Maka,muncullah yang namanya sistem kelas. Dalam sistem ini,
negara, regulasi, sistem perundang-undangan dilarang keras untuk melakukan
intervensi, melainkan harus membuka jalan seluas-luasnya demi
terimpelementasikannya sistem tersebut.
Sebaliknya, traktat ekonomi sosialis percaya bahwa
untuk menciptakan kemakmuran, maka segala potensi alam harus dibagi sama rata,
sama rasa. Indifidu tidak mempunyai kebebasan untuk memiliki atau apalagi
mengakumulasi modal. Sistem penyamarataan ini, bagi sekte sosialis, dirasa
sangat adil. Karena di dalamnya tidak ada lagi kelas sosial:kaya miskin,
juragan-buruh, majikan-jongos, pimpinan- karyawan dan sebagainya.
Tulisan ini mencoba mengulas persoalan apa sebenarnya
yang melatarbelakangi lahirnya ekonomi sosialisme Marx dan bagaimana konsep
dasarnya? Tentu saja dalam kajian ini, penulis tidak bisa menyajikan analisis
yang detail dan mendalam tetapi lebih bersifat umum saja.
Latar kultural dan historis lahirnya ekonomi sosialis Marx.
Eropa baru saja menyelesaikan pertentangannya antara
kekuatan kapitalisme yang baru lahir dengan rezim feodalisme. Sebelumnya,
sejarah masyarakat Eropa lebih didominasi oleh kaum bangsawan dan feodal. Kelas
masyarakat inilah yang telah lama mencengkramkan kuku penjajahannya pada
masyarakat bawah. Namun, sejarah ternyata berubah. Setelah sekian lama berada
dalam cengkraman kaum feodal, maka lahirlah kekuatan baru yakni kaum kapitalis
yang berusaha meruntuhkan otoritarianisme kaum feodal. Hal ini ditandai dengan
lahirnya Renaissance di Eropa. Lahirnya era ini menandai lepasnya
masyarakat dari era kegelapan yang lebih didominasi oleh kaum bangsawan –feodal.
Era pencerahan membawa Eropa ke dalam sebuah peralihan
dari kaum feodal ke kaum kapital. Hal ini dipicu dengan ditemukannya mesin
cetak oleh Johan Guttenberg pada abad ke 15 M. Hadirnya mesin cetak ini mampu
merubah kondisi sosial-budaya masyarakat Eropa pada waktu itu. Hal ini terutama
dalam hal produksi. Oleh mesin cetak ini, produksi buku akhirnya bisa dilakukan
secara massal. Sebelumnya, proes produksi buku atau tulisan lebih bersifat
manual. Tehnik ini dilakukan dengan menggunakan tangan atau menulis di atas batu
(litografi). Pola manual semacam ini jelas sangat melelahakn dan jelas tidak
efektif untuk meningkatkan produksi tulisan.
Semakin mudah orang mencetak buku secara massal,
gairah untuk menulis juga meningkat. Namun, bagi masyarakat awam mereka menyimpan
tulisannya untuk dirinya sendiri. Hanya para bangsawan yang mampu mencetak
tulisannya. Karena biaya atau ongkos untuk cetak sangat mahal. Namun yang harus
diketahui adalah bahwa ditemukannya mesin cetak ini merupakan fenomena
revolusioner yang mampu mendobrak kebuntuan produksi selama berabad-abad. Mesin
cetak ini merupakan faktor utama terjadinya akselerasi dan peningkatan produksi
buku dan bacaan. Fenomena ini berimplikasi pada lahirnya era keterbukaan
komunikasi. Dengan banyakanya kuantitas buku yang dicetak, masing-masing orang
terpicu untuk saling tukar ide dn pikiran. Maraknya diskusi dan pertukaran ide
ini ternyata membawa akibat fatal terhadap rezim bangsawan. Derasnya wacana dan
pertukaran ide membuat budaya kritis masyarakat semakin terasah sehingga mampu
membongkar segala macam kebusukan dan kebobrokan rezim bangsawan atau kaum
feodal sekaligus meruntuhkan mitos surgawi yang diwartakan para raja.
Revolusi teknologi itulah yang akhirnya menjadi titik
tolak terjadinya perubahan-perubahan besar di masyarakat. Fakta yang paling
jelas sebagai konsekuensi munculnya revolusi teknolgi ini melahirkan apa yang
dinamakan dengan Engels Revolusi industri. Hal ini, dalam bidang ekonomi
berarti, telah terjadi perubahan mendasar dari sistem pertanian ke sistem
perindustrian. Ketika revolusi industri lahir, maka fenomena ini diikuti dengan
lahirnya revolusi sosial. Salah satunya adalah terjadinya revolusi Perancis.
Bagi Gracchu Babeuf, revolusi Perancis adalah pelopor
revolusi lainnya, revolusi yang lebih cemerlang menjadi revolusi terakhir.Dalam
revolusi sosial ini, pihak yang menjadi aktor utamanya adalah kelas sosial baru
yakni kaum borjuis atau kapitalis. Dengan hadirnya revolusi sosial ini, sistem
feodal mulai runtuh dan kehilangan legitimasinya di mata masyarakat dan
digantikan oleh sistem kapitalis. Namun, yang perlu diketahui juga, bahwa
peralihan dari feodalisme ke kapitalisme ini tidak sepenuhnya diwarnai dengan
revolusi. Negara-negara di Eropa pada waktu itu mempunyai caranya tersendiri
yang berbeda. Di Inggirs misalnya, peralihan ini lebih didukung oleh hasil
kerja sama antara kelas feodal dengan kelas borjuis atau kapital.
Ketika sistem feodal tergantikan oleh sistem kapital,
bukan berarti sebuah masalah selesai. Namun di sinilah justru muncul problematika
baru. Budaya penindasan yang awalnya didominasi oleh kaum feodal kini
tergantikan oleh kaum kapital. Dari sinilah akhirnya kaum buruh Eropa sadar,
bahwa dengan berkaca pada evolusi Perancis, gerakan revolusi mereka ternyata
hanya ditunggangi oleh kaum borjuis untuk memperjuangkan kepentingan mereka
sendiri. Setelah kekuasaan berada di tangannya, kaum borjuis ini segera
menunjukkan taring dan kuku-kuku tajamnya. Mereka ganti melakukan borjuasi baru
seperti yang dilakukan oleh seniornya, kaum feodal. Sistem penindasan dan
borjuasi itu terlihat dengan pemerasan tenaga para buruh di pabrik-pabrik
mereka.
Kondisi pekerja amat memprihatinkan, sementara upah
buruh sangat rendah. Pemandangan yang tak manusiawi ini merupakan kondisi
sehari-hari di tengah masyarakat Eropa waktu itu. Teknologi baru yang ditemukan
itu, bukannya meningkatkan kesejahteraan kaum buruh, tetapi justru memerangkap
kehidupan kaum buruh ke dalam peniondasan yang lebih kejam.sebab, pada
akhirnya, penemuan teknologi ini akhirnya dijadikan oleh kaum borjuis untuk
menekan para buruh. Hadirnya teknologi ini menajdikan para kapitalis bebas
melakukan tawar menawar kepada buruh. Dengan bantuan teknologi itu, mereka
mampu menggerakkan pabriknya tanpa memerlukan tenaga manusia yang banyak.
Rupanya hal itulah yang dijadikan senjata para borju
untuk meneror buruh. Para borju itu seolah berkata kalau pabrik yang
dioperasikan tidak begitu membutuhkan tenaga buruh yang banyak karena sudah
mempunyai alat-alat teknologi untuk produksi, maka para buruhlah yang harus
membutuhkan pabrik karena mereka butuh pekerjaan. Kondisi buruh yang terhimpit
dan terintimidasi ini membuat para juragan semakin seenaknya sendiri terhadap
buruh. Mereka menggaji murah para buruh, melakukan PHK sesuakanya dengan alasan
tidak dibutuhkan tenaga dan sebagainya. PHK ini menjatuhkan daya tawar kaum
buruh di hadapan para majikan dengan berprinsip pada teori Adam Smith.
Fenomena penindasan terhadap kaum buruh oleh kaum
borjuis inilah yang menegaskan Marx sebagai orang sosialis. Hal ini ditunjukkan
oleh sikap dan kritik-kritiknya terhadap kaum borjuis dan kecamannya terhadap
para tokoh atau pemikir yang cenderung idealisme atau religius. Sebagai seorang
penulis handal, Marx mengutuk para penulis liberal yang memfokuskan dirinya untuk
usaha propaganda menangkal ateisme. Marx berpendapat bahwa tenaga atau pikiran
harus ditujukan pada hal-hal yang konkrit, yang berkaitan erat dengan kondisi
berat para buruh.
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa lahirnya
wacana ekonomi sosialis Marxis adalah lebih sebagai antitesis atau counter
balik (feed back) terhadap sistem ekonomi kapitalis. Teori ini, ia cetuskan
setelah melakukan penelitian berjam-jam selama bertahun-tahun di British
Liberary. Hal ini dilakukan oleh Marx karena berangkat dari kegelisahannya
bahwa sistem kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang tidak manusiawi. Di
dalamnya telah diberlakukan dan dilegalkan penindasan dan perbudakan yang
sebesar-besarnya terhadap para buruh. Dari sinilah Marx, sewaktu di Paris,
menyerukan bersatu kepada kaum buruh sedunia untuk melawan kapitalisme.
Perlawanan kaum buruh ini pada tingkat yang paling
radikal adalah dimanifestasikan dengan terjadinya revolusi proletariat. Bagi
Marx, revolusi proletariat adalah sebuah keniscayaan sejarah. Hal ini terjadi
ketika kapitalisme sudah berada di puncak kejayaannya. Puncak kejayaan
kapitalisme, bagi Marx, adalah justru awal runtuhnya kapitalisme. Revolusi ini
lahir sebagai sikap kaum buruh yang sudah mencapai tingkat kemuakan dan
kebingungan atas kerasnya penindasan dari para pemodal.
Secara struktural, sistem ekonomi Marx ini didasarkan
pada masalah kapital yang terdiri dari persoalan komoditi, uang atau sirkulasi
sederhana dan kapital secara umum. Dalam pembahasan teorinya ini Marx
mendasarkan pada konsep pertentangan kelas. Bagi Marx sejarah manusia adalah
sejarah konflik dan pertentangan kelas yakni kelas borjuis dan keas proletar.
Kelas borjuis adalah pihak yang menguasai alat-alat produksi sementara kelas
proletar adalah pihak yang dikesloitasi tenaganya dalam proses produksi.
Menurut Marx, sebuah perekonomian kapitalis pada
awalnya terdiri dari komoditas-komoditas dalam jumlah besar, ditambah dengan
individu-individu yang menjadi pemilik dari komoditas itu, dan beberapa
hubungan pertukaran yang saling menghubungkan individu-individu itu. Pada
awalnya, individu-individu ini tidak merasa sebagai bagian dari kelas- kelas
sosial-ekonomi yang ada. Mereka juga tidak menganggap bahwa kepentingan-kepentingan
mereka bukan sebuah representasi dari kelas mereka.
Pembentukan kelas-kelas individu ini lebih ditentukan
oleh struktur dan dinamika perekonomian kapitalis. Penentuan kelas ini tidak
hanya berdasarkan pada kesamaan selera individu tetapi posisi dan nasib mereka
dalam struktur produksi. Artinya, posisi kelas mereka ini lebih ditentukan oleh
hubungan produksi mereka dalam aktifitas ekonomi.
Argumen yang ditunjukkan Marx untuk menguatkan
teorinya tentang konsep kelas ditunjukkan dengan kritik Marx terhadap konsep
dan tujuan pasar. Bagi Marx, perekonomian pasar, yang merupakan corak utama
sistem kapitalisme liberal, bukanlah mekanisme untuk memaksimalkan
kesejahteraan pribadi dari individu-individu di dalamnya, melainkan sebuah
sarana untuk memfasilitasi para kapitalis untuk merampas (appropiation)
nilai surplus dan mengakumulasi kapital.
Lahirnya globalisasi pasar bebas (free tread)
misalnya, yang merupakan penegasan dari sistem kapitalisme neoliberal, tidalk
lain adalah strategi para kaum borjusi (dalam hal ini negara-negara maju yang
dipimpin oleh AS) untuk memepertahankan kepentingannya. Dalam sistem itu,
regulasi yang dipakai adalah mekanisme pasar. Sehingga tidak ada pihak lain,
termasuk negara yang bisa melakukan distorsi atau intervensi. Seluruh sistem
yang dibangun dan pola kerja yang diciptakan tidak lain adalah manifestasi dari
kepentingan ekonomi kaum borjuis dari brbagai negara maju. Maka tidak heran
kalau kebijakan pasar sering bertabarkan dengan spirit keadilan dan kepentingan
masyarakat bawah.
Dalam kaitannya dengan masalah pasar di atas, konsep
ekonomi yang dikritik oleh Marx adalah sistem ekonomi yang terformulasikan
dalam bentuk hubungan C (kumpulan dari jenis komoditas tertentu atau
nilai guna yakni barang-barang komoditas seperti kursi, roti, meja, baju dan
sebagainya, dengan M yang merupakan tanda dari uang. Dalam perspektif
ekonomi modern, orang mempunyai uang hanya sekedar untuk membeli barang-barang
atau komoditi yang berguna bagi mereka. Mereka mempunyai uang untuk membeli mobil,
karena memang mereka butuh mobil itu, atau uang untuk membeli rumah karena
mereka sangat butuh rumah. Untuk mendapatkan uang supaya bisa membeli
barang-barang yang dibutuhkan, individu perlu menjaal komoditas lainnya.
Bentuk penjualan komoditas ini bagi Marx, meliputi
tenaga manusia. Jadi, supaya bisa membeli mobil atau rumah seseorang harus
menjual komoditasnya yang beruapa tenaganya atau kemampuannya itu ke
pabrik(dengan cara bekerja) untuk mendapatkan uang yang bisa digunakan untuk
membeli barang atau komoditas lain yang mereka butuhkan. Atau kalau tidak
berupa komoditas kemampuan atau tenaga, seseorang akan menjual barang-barang
miliknya yang lain untuk membeli komoditas yang dibutuhkan. Misalnya, indifidu
yang membutuhkan rumah, ketika yang dipunyai mobil, maka ia akan menjaul mobil
itu untuk mendapatkan uang supaya bisa beli rumah. Pola semacam ini oleh Marx
dinamakan dengan “sirkulasi komoditas sederhana”. Konsep ini bisa dirumuskan
dnegan sebagai berikut:
C (kemampuan
kerja) M (upah) C (sarana
konsumsi) atau
C
(motor bekas) M (hasil penjualan) (rumah baru).
Pola sirkulasi komoditas sederhana itu, bagi Marx ,
sebenarnya lebih terjadi di pasar-pasar non-kapitalis. Namun, di pasar –pasar
kapitalis juga terjadi sistem atau pola sirkulasi tersebut. Menurut Marx, pola
sirkulasi yang khas dari pasar kapitalis sehingga membedakan dengan pola
sirkulasi komoditas itu adalah pola sirkulasi kapital. Sebuah sirkulasi terbali
dengan sirkulasi komoditas di atas. Ada perbedaan mendasar antara pola
sirkulasi komoditas dengan pola sirkulasi kapital. Kalau sirkulasi komoditas
yang dituju adalah mendapatkan barang, maka kalau dalam sirkulasi kapital ini
tujuan yang hendak diraih adalah mendapatkan uang. Pola sirkulasi kapital ini
secara formulatif bisa dirumuskan dengan :
M C M’
Bahwa sang kapital mengeluarkan uang (M) dengan
harapan bahwa investasi bisa menghasilkan laba ( yaitu sebesar M’ dikurangi M)
yang oleh Marx disebut dengan nilai surplus (surplus value). Maka dalam
dangan Marx pasar kapitalis sebenarnya mempunyai dua fungsi yaitu sebagai
tempat untuk sirkulasi barang atau komoditas untuk mendistribusikan barang itu
kepada pihak yang membutuhkan (konsumen) (fungsi C-M-C) sekaligus
sebagai sirkulasi kapital untuk mendapatkan uang atau mengakumulasi modal
(fungsi M-C-M).
Posisi kelas terjadi ketika adanya perbedaan tujuan
masing-masing individu dalam menggunakan sirkulasi modal atau komoditasnya.
Bagi individu yang yang tidak mempunyai kapital atau komoditasnya terbatas,
maka ia akan mensirkulasikan komoditas itu sebatas untuk mendapatkan barang
atau komoditas baru. Namun sebaliknya, bagi mereka yang mempunyai modal
berlimpah, mereka mensirkulasikan modal dan komoditasnya jelas bertujuan untuk
mengakumulasikan modal. Dari sinilah bisa dipetik benag merahnya bahwa
aktifitas ekonomi itulah yang menurut Marx merupakan faktor determinan
terbentuknya posisi-posisi atau kelas-kelas sosial di masyarakat.
Perbedaan pola dan orientasi dari dua model sirkulasi
itulah yang memicu konflik. Konflik antar kelas (kelas borjuis dan proletar)
terjadi ketika dari pihak kaum borjuis menerapkan sistem “upah subsistensi”
yang berfungsi untuk menyambung hidup para pekerja. Artinya, dengan orientasi
kaum kapitalis untuk mengakumulasikan kapital, sementara kaum proletar (yang
tak mempunyai banyak modal) hanya sekedar untuk mendapatkan komoditas lain yang
dibutuhkan, maka kaum kapitalis cukup memberikan upah kepada buruh sebatas upah
itu bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para buruh. Para kaum borjuis
cukup memberikan upah kepada buruh sekedar bisa untuk makan dan memnuhi
kebutuhan primer mereka. Sementara mereka tidak diberi upah yang layak supaya
mereka juga bisa mengumpulkan modal atau memenuhi kebutuhan sekunder dan bahkan
tersier mereka.
Jika yang diberikan kepada buruh hanyalah sebatas upah
subsistensi, maka disinilah letak permasalahn selanjutnya: para kapital itu
telah menciri atau maerampas upah buruh yang tersisa. Dengan tenaganya yang
mahal itu, buruh sebenarnya memproduksi upah yang tinggi, namun oleh pihak
kapitalis, upah yang diberikan kepada kaum proletar (buruh) hanya sebatas upah
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka jelas upah yang tersisa masih sangat
banyak. Inilah yang dinamakan dengan nilai surplus. Nilai surplus yang sebenarnya
milik para buruh itu akhirnya masuk kantong para kapitalis. Maka wajar, kalau
kemudian, meskipun para juragan itu tidak membanting tulang ikut bekerja,
mereka selalu kaya dan terus kaya, modalnya semakin meningkat, sementara
meskipun para buruh itu kerja menghasilkan produk yang bisa dijual ke pasaran,
hidup mereka tetap miskin. Karena hak-hak mereka dipangkas sedemikian besarnya,
sehingga mereka tidak bisa maksimal dalam menikmati hasil kerjanya.
Bagi Marx, kalau mau jujur, seluruh nilai tambah yang
dihasilkan oleh para buruh, yang ada di dalam modal kapitalis tersebut
seharusnya diberikan kepada buruh.Sementara bagi kaum pemodal, ia sebenarnya
hanya mempunyai modal pokok itu saja. Kalau mau megambil seharusnya yang dia
ambil adalah modal pokoknya saja. Kenapa? Karena dia tidak ikut bekerja
menghasilkan nilai tambah itu. Namun dalam dunia kapitalisme yang berlaku tidak
demikian. Tetapi sebaliknya, keuntungan, laba atau nilai tambah itu yang
separonya masuk ke kantongnya dia, kemudian yang separo masih dibagi –bagi:
untuk pembiayaan administrasi, ansuransi, dana cadangan perusahaan dan kalau
sudah hampir habis baru dibagikan kepada buruh.
Inilah yang menurut Marx bahwa sistem kapitalisme
adalah sistem penghisapan. Sistem ini bisa langgeng karena hasil penghisapan
dan perampasannya terhadap hak-hak buruh, yang dalam kontek ini adalah nilai
tambah yang dihasilkan oleh para buruh itu sendiri. Oleh karena itu, Karl Marx
percaya bahwa dalam rangka menghentikan penghisapan dan penindasan sistem
ekonomi liberalis-kapitalis yang tak manusiawi itu, perlu ditegakkan ekonomi
sosialis, sebuah sistem ekonomi tanpa kelas, tanpa hak milik pribadi, tanpa
kasta, tanpa kerakusan, tanpa ketamakan, non diskriminatif and non sektarian,
tak ada yang menguasai dan tak ada yang dikuasai. Kehidupan benar-benar sama
untuk semua, dan dunia akhirnya menjadi satu (and the world may live as one),
seperti mimpi John Lennon dalam sebuah lagunya, Imagine.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar